jpnn.com - jpnn.com - Propaganda radikalisme dan terorisme tidak hanya menyasar kaum remaja dan orang tua, tapi juga anak-anak usia dini.
Karena itu, peran orang tua dan keluarga menjadi kunci dalam melindungi anak dari pengaruh radikalisme dan terorisme.
BACA JUGA: 4 Keunggulan Penggunaan Big Data Mobile Positioning
"Orang tua dan keluarga merupakan komponen penting dalam memberikan perlindungan khusus anak dari penyebaran paham kekerasan dan terorisme," kata Komisioner Bidang Cybercrime dan Pornografi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Maria Advianti di Jakarta, Sabtu (4/3).
Namun, apabila orang tua malah mengajak buah hatinya mengikuti paham terorisme, anak tersebut harus mendapatkan perlindungan.
BACA JUGA: Zaman Sudah Digital, PNS tak Boleh Gaptek
Negara harus menjamin perkembangan anak itu terlepas dari pengaruh terorisme.
Sesuai dalam Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 disebutkan bahwa anak korban terorisme mendapat perlindungan khusus dari negara.
BACA JUGA: Mainan Dewasa Ini Bisa Dipakai dan Digetarkan dari Ponsel
Menurut Maria, perlindungan khusus bagi anak korban terorisme dilakukan melalui upaya edukasi tentang pendidikan, ideologi, dan nilai nasionalisme.
Selanjutnya, dilakukan konseling tentang bahaya terorisme.
Selain itu juga harus dilakukan rehabilitasi dan pendampingan sosial.
"KPAI telah melakukan upaya-upaya itu sesuai dengan amanat UU tersebut. Untuk menjalankan program ini, kami melibatkan berbagai pihak seperti orang tua, guru, masyarakat, media massa, juga kementerian dan lembaga, termasuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)," jelas Maria.
Seperti diketahui, beberapa waktu lalu ada 75 warga negara Indonesia (WNI) dideportasi dari Turki karena diketahui akan bergabung dengan ISIS.
Ironisnya, sebagian dari mereka adalah anak-anak yang diajak orang tuanya.
Saat ini, ke-75 WNI itu sudah berada dalam penanganan Departemen Sosial, KPAI, dan BNPT untuk dilakukan rehabilitasi dan resosialisasi.
Penyebaran paham terorisme ke kalangan anak-anak tidak lepas dari keberadaan gadget dan media sosial yang kini berkembang pesat di masyarakat.
Menurut Maria, dalam kondisi kekinian, anak memang sulit dijauhkan dari gadget.
"Pada dasarnya anak yang terlahir setelah tahun 2000 merupakan era digital native. Mereka lahir pada zaman digital. Tapi gadget memang memiliki dampak negatif bagi tumbuh kembang anak, meski memang ada dampak positifnya," tutur Maria.
Untuk itu, terang Maria, solusinya adalah mengatur interaksi anak dengan gadget.
Anak juga harus diarahkan menggunakan gadget secara positif.
Selain itu, juga harus diberikan pemahaman gadget dapat membantu anak belajar, berinteraksi positif dengan teman-teman di media sosial, serta bisa mencari informasi.
Namun, gadget juga berdampak negatif jika tidak dikelola dengan baik dan bisa mengakibatkan anak kecanduan dan berperilaku kasar serta egois.
Anak-anak juga harus diberitahu bahwa gadget juga digunakan pelaku kejahatan untuk merayu dan memengaruhi, baik kejahatan konvensional maupun kejahatan terorisme.
"Ajarkan anak untuk selalu melaporkan apabila merasa terganggu atau tidak nyaman dengan orang yang dikenal di internet," tegas Maria.
Selain gadget, ungkap Maria, orang tua juga harus aktif mendampingi anak saat berinteraksi dengan buku bacaan. Misalnya, buku pelajaran.
Pasalnya, beberapa kali terbukti buku pelajaran anak-anak usia dini yang di dalamnya terdapat konten-konten negatif.
KPAI mendorong pemerintah untuk mewujudkan aturan tentang perbukuan demi menjamin informasi yang sesuai dengan tumbuh kembang anak.
"Semoga dengan adanya aturan itu tidak terjadi lagi kasus tentang buku anak yang disisipi ajaran kekerasan, pornografi, dan narkoba yang beredar di masyarakat," pungkas Maria. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... SMS Penyelamat dari Gempa
Redaktur & Reporter : Ragil