jpnn.com, SURABAYA - Menjaga kesehatan gigi perlu ditanamkan sejak dini. Hal ini cukup berpengaruh pada tumbuh kembang anak.
Selain itu, si kecil perlu pembiasaan diri berinteraksi dengan dokter gigi agar tidak ada ketakutan psikologis di kemudian hari.
BACA JUGA: Seperti Ini Cara TNI AL Membantu Pemerintah di Bidang Kesehatan
Phaksy Sukowati - Radar Surabaya
Seringkali anak-anak menyimpan rasa ketakutan yang berlebih saat berhadapan dengan penanganan dental atau gigi. Rasa sakit saat gigi tanggal ditambah paksaan orang tua untuk berobat, menambah tekanan psikis anak sehingga risih menjalani penanganan.
BACA JUGA: Tips Merawat Gigi Sehat dan Kuat
Dokter Spesialis Gigi Anak Rumah Sakit (RS) Adi Husada Undaan Wetan Surabaya drg. Yenny Kurniawati, Sp.KGA mengatakan, pengenalan permasalahan gigi anak-anak sebaiknya dilakukan mulai umur satu tahun.
BACA JUGA: Oh No! 5 Kebiasaan ini Bisa Bikin Gigi Berlubang
Pasalnya, pada usia ini gigi anak sudah mulai tumbuh. “Gigi sulung atau gigi susu sudah tumbuh hampir merata,” ujar Yenny.
Caranya, orang tua bisa mengajak si anak untuk mengenal lingkungan dokter gigi. Mulai bertatap muka dengan dokter, perawat maupun suasana di dalam ruangan poli.
Anak-anak ini sendiri sifatnya lebih diajak untuk menjaga kesehatan gigi, atau pencegahan timbulnya gangguan di kemudian hari. Menurutnya, anak usia satu tahun juga dinilai sudah cukup matang dalam sisi motorik dan pemberian instruksi.
Anak mulai diajarkan untuk membuka mulut tanpa ada paksaan. Selanjutnya, dokter akan memeriksa kondisi gigi secara berlahan kemudian dilakukan pembersihan mulut dan gigi.
Tidak perlu adanya tindakan yang menyakitkan gigi anak-anak. “Kalau tidak ada masalah, kita bersihkan saja dan kita bantu pencegahan agar tidak muncul gangguan kompleks gigi di kemudian hari,” jelasnya.
Lebih lanjut ia menerangkan, anak-anak bisa mulai diajari membuka mulut dengan rileks, serta dilakukan penanaman imajinasi tertentu. Tujuannya agar anak terbiasa memiliki kesadaran diri untuk merawat giginya.
“Kami harus komunikatif dan menyesuaikan imajinasi anak-anak. Misalnya, kalau nggak rajin gosok gigi, bisa keluar monster mulut (bakteri, Red) yang bikin gigi jadi bolong,” ujarnya.
Yenny sendiri mengakui, mayoritas pasien yang datang untuk pengobatan atau pencabutan gigi berusia enam tahun ke atas. Artinya, masih banyak anak-anak datang pertama kali saat baru mengalami keluhan.
Pada usia tersebut memang merupakan masa transisi dari pergantian beberapa gigi sulung dengan gigi permanen.
“Kebanyakan untuk pencabutan gigi. Karena memang ada gigi yang bisa goyang dan lepas sendiri, ada yang perlu dilakukan pencabutan,” ujar alumnus Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Airlangga (Unair) itu.
Nah, secara psikologis anak-anak tentu belum terbiasa dan akrab dengan perawatan yang bakal dirasakan, yang diberikan oleh dokter gigi. Akibatnya anak menjadi enggan mengingat rasa sakit yang dirasakan saat menjalani perawatan.
“Maka tak heran bila masih ada anak yang paling takut ketemu dengan dokter gigi. Karena mereka belum terbiasa secara benar,” akunya.
Yenny juga mengingatkan orang tua agar lebih aware atau memperhatikan kondisi gigi anaknya. Anakanak perlu diberikan penjelasan dan nasehat dengan baik, sehingga timbul kesadaran sendiri dari mereka.
“Jangan baru ada sakit kemudian berobat. Jangan ada pemaksaan, tapi perlu menanamkan pola pikir sendiri dan penjelasan,” tukas Yenny. (*/opi)
Redaktur : Tim Redaksi