Menjejak Tanah Pulau Haruku yang Disebut Markas Gerakan RMS

Miskin Infrastruktur, Lebih Segan pada Guru dan Dokter

Jumat, 05 Juli 2013 – 06:04 WIB
MISKIN dan tertinggal. Kesan nyata yang terlihat saat menjejaki Pulau Haruku, Maluku Tengah. Pulau terpencil yang sebagian pemudanya dijebloskan ke Nusa Kambangan, karena dituding berupaya makar.
----------
RIKO NOVIANTORO, Maluku Tengah
----------
Langit di perairan Banda menyemburatkan warna biru. Ombaknya mengayun pelan. Membawa perahu melaju tanpa hambatan. Tiupan angin laut menyapu wajah-wajah warga di Desa Kailolo, Haruku. Inilah titik awal menuju sejumlah desa lain di Pulau Haruku ini.

Hubungan antar desa hanya melalui jalur darat. Dengan kondisi memprihatinkan. Jangan berharap sarana jalan yang beraspal, apalagi mulus. Jangan pula terpikir tiang-tiang listrik dan lampu penerang jalan berdiri di sisi jalan. Semua tidak pernah terlihat.

Kondisi jalan di Pulau Haruku berkarakter bebatuan merah yang licin saat terkena air. Sebagian lagi batu berpasir. Pada sisi jalan perbukitan batu yang bisa longsor sewaktu-waktu.

Sepanjang jalan berhiaskan hutan cengkeh lebat. Terpotong pemandangan laut lepas yang berpadu perbukitan. Cukup indah dan nyaman.

"Hanya ojek motor yang ada disini. Tidak ada angkutan lain. Semua dilalui motor. Mobil sangat jarang," kata Joseph, warga pulau Haruku yang membawa INDOPOS menuju desa Aboru.

Jarak desa Kailolo menuju desa Aboru cukup jauh. Butuh 30 menit menggunakan motor dengan kondisi jalan yang buruk. Itu pun jika tidak mengalami hambatan di jalan, seperti bocor atau kehabisan bensin.

"Kalau bensin di sini Rp 8 ribu per liter. (Itu saat bensin masih Rp 4.500 per liter)," ungkap lelaki bertopi putih.

Rasa tegang di hati pengendara motor mulai terasa. Saat melewati hutan cengkeh yang lebat. Motor dipacu lebih cepat. Menerobos kekhawatiran di bentangan hutan cengkeh yang sunyi sepi.

"Tidak ada orang jahat. Tapi lebih baik berhati-hati," jelas Joseph sambil senyum tanpa makna.

Jawaban Joseph itu memperkuat asumsi kalau situasi tegang sering terjadi di Pulau Haruku. Terlebih pulau ini menjadi daerah terakhir bagi gerakan separatisme Republik Maluku Selatan (RMS). Sebuah gerakan yang telah muncul sejak 1950.

Ditanya soal RMS, Joseph tak ingin bicara banyak. Dia mengaku Pulau Haruku memang dikenal sebagai basis gerakan tersebut. Banyak warganya yang telah menjadi penghuni di Pulau Nusa Kambangan.

"Banyak warga kita yang ditahan. Sudah berapa lama mereka ditahan itu," terangnya tanpa mau menyebut nama mereka yang ditahan.

Tak terasa desa Aboru sudah terlihat. Letaknya di bibir teluk yang merona. Karakter desa ini tak beda dengan desa nelayan lainnya. Banyak perahu bersandar dan rumah bergaya lokal.

Sejumlah sarana pendidikan tampak berdiri. Mulai SD, SMP sampai SMA. Semua sekolah itu berstatus sekolah negeri.

"Saya mengajar di SD di desa Aboru. Sudah lama mengajar di sini," terang guru perempuan yang tak mau menyebutkan identitas dirinya.

Wajah guru perempuan ini tak beda dengan warga lokal. Model rambutnya keriting panjang sebahu. Kulitnya hitam mengkilap. "Saya asli Ambon. Setelah menjadi guru ditempatkan di Haruku," tuturnya singkat.

Jumlah murid di SD Aboru tidak banyak. Tercatat hanya sekitar 100 siswa. Itu pun dari kelas I sampai kelas VI.

Dari data setempat tercatat Desa Aboru berpenduduk 500 kepala keluarga atau sekitar 2 ribu jiwa. Warganya berpenghasilan sebagai nelayan dan petani cengkeh. "Harga cengkeh bisa Rp. 100 ribu per kilo jika saat baik. Tapi bisa juga turun," tambah guru SD ini.

Guru perempuan yang masih lajang ini menjelaskan desa Aboru memang mayoritas berekonomi lemah. Mereka hidup sangat sederhana. Berharap pada penghasilan laut yang tak begitu bisa diharapkan.

Alasannya, sambung dia, tak ada jual beli yang begitu besar di desa ini. Nelayan mendapatkan ikan untuk kebutuhan keluarga. Jika pun harus dijual tak bisa berharap ada pembeli yang berminat.

Sedangkan pertanian cengkeh tak selalu baik. Musim panennya tidak terlalu sering. Hingga warga pun hanya sesekali mendapatkan hasil dari kebun cengkehnya.

Sekilas suasana desa Aboru memang penuh gembira. Wajah anak-anak yang hilir mudik memberikan kesan itu. Namun berbeda saat melihat wajah orang dewasanya.

Tatapan mereka penuh curiga. Dengan sikap dingin dan sedikit bicara. Terkadang acuh tanpa peduli. Meski senyum kecil tetap terselip dibibir mereka.

"Kami senang mendapat kedatangan dari saudara-saudara kami di Jakarta," kata ketua tokoh Aboru membuka sambutan di balai desa Aboru.

Di desa ini memang tak seperti daerah lain yang maju. Tak ada sarana yang sebagus di Jakarta. Semua apa adanya. Mengikuti kondisi masyarakatnya.

"Hanya tiga menteri yang pernah datang ke Haruku ini. Itu pun sangat singkat," jelasnya menuturkan respons pemerintah pusat terhadap Haruku.

Tokoh adat Aboru yang sudah berusia 70 tahunan ini mengaku banyak kegetiran yang dialami warga. Ketidakadilan ekonomi yang begitu membedakan kondisi Aboru dan daerah lain di Jakarta. Kegetiran itu mendorong sejumlah anak muda di Haruku menghadapi persoalan serius. Mereka ditahan pemerintah karena terbukti terlibat pada gerakan RMS.

"Memang ada di antara kami yang menjadi anggota RMS. Tapi itu bukanlah pemberontakan. Mereka hanya protes keadilan," terangnya.

Jika boleh melihat sikap protes itu, dia meminta pemerintah Indonesia bisa membebaskan kembali pemuda Haruku. Lepaskan pemuda itu dari tuntutan hukum dan biarkan pulang ke tanah air, Haruku. "Mereka itu bukan pemberontak. Mereka hanya anak muda yang ingin sampaikan aspirasi saja," pintanya.

Dia mengatakan warga Aboru dan pulau Haruku secara utuh tak pernah berniat memerdekan diri. Membentuk negara yang tidak menjadi bagian dari Indonesia. Semua warga Haruku menyatakan diri sebagai bagian Indonesia Raya.

Jika ada warga Aboru yang hidupnya baik, sambung dia, memang tak dipungkiri mendapat bantuan dari saudaranya di Belanda. Bantuan tersebut tak berkaitan dengan gerakan separatisme. "Bantuan uang itu murni pemberian saudara kandung kepada saudaranya di Indonesia," jelasnya.

Selama ini, lanjut dia, pemerintah dan birokrat daerah tak memberikan perhatian pada Haruku. Sikap itulah yang membuat sebagian warga Haruku tidak percaya pada pemerintah dan birokrat daerah. Termasuk pada lembaga non pemerintah lainnya.

Alasannya, sambung dia, keterpurukan warga Aboru dan pulau Haruku secara luas sering menjadi objek proposal. namun tidak ada kegiatan apapun yang dilakukan di daerah ini.

"Kami lebih segan dan hormat pada guru dan dokter. Mungkin dengan lainnya kami bisa bersikap biasa. Tapi di dada ini semua warga Aboru dan Haruku tetap NKRI," ujarnya. (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Lepas Status Putra Mahkota Demi Karir Perwira

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler