jpnn.com, JAKARTA - Pernyataan Menkes Terawan Agus Putranto bahwa proses perizinan peredaran obat-obatan akan ditangani kemenkes, dari sebelumnya diurusi Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), menuai polemik.
Sejumlah pihak menilai pengambilalihan kewenangan itu cacat hukum karena menabarak Keppres dan Perpres.
BACA JUGA: Terobosan Menkes Terawan terkait Izin Edar Obat
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, BPOM adalah Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK) yang tugas, fungsi dan kewenangannya diatur oleh Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2/2003 dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Presiden Jokowi pada 9 Agustus 2017 juga menerbitkan Peraturan Presiden No 80/2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan yang secara tegas menetapkan BPOM sebaga LPNK yang menyelenggarakan urusan pemerintah dalam bidang pengawasan obat serta makanan.
BACA JUGA: Komisi IX DPR Mengingatkan Menkes Terawan soal Izin Edar Obat
“Perpres 80/2017 juga mengungkapkan bahwa Badan POM-RI memiliki kewenangan untuk menerbitkan izin edar obat. Jadi, kalau Menkes mau ngambil lagi itu jelas menabrak dua aturan sekaligus,” kata Tulus.
Menurutnya, mengambil kembali kewenangan yang telah diberikan kepada BPOM tidak sejalan dengan kebijakan Presdien Jokowi yang ingin memperkuat BPOM dari sisi pre-market control dan post market control.
“Dari sisi pre-market, Badan POM saat ini telah punya divisi yang cukup baik dan handal untuk mengetahui berbagai macam bentuk pengujian obat, apakah Kemenkes punya hal ini. Lalu dari sisi post market, pengawasan obat itu kan harus dilakukan setelah diberi izin edar nah…Badan POM punya kaki tangan di daerah-daerah, Kemenkes nggak punya,” kata Tulus.
Menurut Tulus, Menkes tidak paham persoalan hulu masalah obat dan persoalan industri farmasi. Bahwa masalah utama mahalnya harga obat jelas bukan masalah perizinan, tapi masalah bahan baku obat yang hampir 100 persen masih impor, dan rantai distribusi obat yang sangat panjang. Bahkan dugaan adanya mafia impor obat inilah pemicu mahalnya harga obat.
“Jadi kalau Menkes ingin menekan harga obat ke level yang lebih murah, maka Menkes harus mendorong untuk mengurangi impor bahan baku obat dan membuka keran bagaimana industri bahan baku obat bisa difasilitasi di Indonesia. Masak kalah sama Thailand? Juga membuat distribusi obat bisa lebih sederhana. Bahkan memberantas adanya dugaan mafia impor bahan baku obat,” ujar Tulus.
Menurut Tulus, apakah bisa dijamin jika pengambilalihan perizinan obat oleh Menkes, tidak akan mampu menurunkan harga obat, karena duduk persoalannya memang bukan pada perizinan. “Alih alih perizinan di Kemenkes malah menjadi masalah baru, dan harga obat malah kian mahal,” jelas Tulus.
Sebelumnya, Ketua Komisi IX Ansory Siregar mengungkapkan bahwa rencana mengambil kembali wewenang memberikan izin edar obat oleh Kemenkes hendaknya tidak diteruskan, karena masih banyak tugas dari Kemenkes yang belum diselesaikan dengan baik.
“Rencana Menkes Terawan untuk ambil lagi wewenang Badan POM tekait izin edar dan produksi dihentikan sajalah, masih banyak tugas lain yang belum selesai, seperti soal BPJK Kesehatan yang merugi hingga triliunan rupiah, mahalnya harga obat, pembuatan e-katalog, masih banyak kok yang harus diselesaikan,” kata Ansory.
Komisi IX, kata Ansory akan meminta Menkes dan jajarannya untuk focus menangani berbagai masalah dalam bidang obat dan pengobatan yang dinilai belum memberikan hasil yang maksimal bagi masyarakat.
“Misalnya, kenapa harga obat di Indonesia itu paling mahal di Asia, padahal sudah ada aturan mengenai penggunaan obat generik atau kebijakan untuk membuat generiknya agar harganya terjangkau. Lalu kenapa, klaim pengobatan BPJS Kesehatan itu tinggi sekali bukankah sudah diwajibkan menggunakan obat murah dan berkualitas. Ini kan harus diselesaikan dulu masalahnya beralih ke lainnya,” kata Ansory.
Menkes Terawan perlu mengambil langkah strategis untuk memenuhi ketersediaanobat dan alat kesehatan untuk program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). “Fokus pemerintah itu kan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) salah satu faktor terpenting untuk mewujudkan SDM unggul itu kesehatan, itu dulu,” katanya.
Ansory mengatakan, BPOM justru perlu penguatan mengingat maraknya produk ilegal yang masuk di era teknologi ini. Sistem pengawasan obat dan makanan perlu diperkuat seiring berkembangnya teknologi, media dan berkembangnya pasar bebas.
“Pengawasan obat dan makanan memiliki arti penting dan strategis dalam kehidupan masyarakat, harusnya diperkuat dong bukan malah diambil lagi wewenangnya,” kata Ansory.
Ansory juga mengungkapkan bahwa Komisi IX akan membentuk Panitia Kerja (Panja) soal tata kelola obat yang dinilainya melibatkan berbagai pihak serta tidak menutup kemungkinan adanya kolusi dan korupsi.
“Kami akan membentu Panja soal obat, kalau perlu mengundang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk ikut serta mendalami masalah ini,” pungkas Ansory. (esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad