JAKARTA - Negara-negara anggota Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) menyadari bahwa perekonomian global masih diselimuti krisis dan rentan terhadap gejolak. Karena itu, upaya mendorong perekonomian global agar tumbuh dan keluar dari krisis menjadi fokus agenda pertemuan menteri keuangan negara anggota APEC di Bali.
"Kami (menteri-menteri keuangan) sepakat mengimplementasikan kebijakan fleksibilitas fiskal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan kerja," ujar Menteri Keuangan Chatib Basri dalam pernyataan bersama menteri keuangan anggota APEC kemarin (20/9).
Kebijakan fleksibilitas fiskal berarti memberi ruang bagi negara-negara APEC untuk mendorong perekonomian melalui belanja negara yang cukup ekspansif. Meski demikian, lanjut Chatib, ekspansi belanja negara akan tetap dijaga agar pendanaan atau utang negara tidak terlalu besar.
Menurut dia, kesepakatan penting lain dari pertemuan menteri keuangan APEC adalah komitmen menyeimbangkan perminaan global, serta mengambil langkah yang dibutuhkan untuk memperkuat kepercayaan pasar dan mendorong pertumbuhan ekonomi. 'Bagi negara emerging market, stabilitas dan resiliensi (ketahanan) terhadap krisis juga akan menjadi prioritas,' katanya.
Gejolak nilai tukar mata uang emerging market yang terdepresiasi terhadap dolar AS (USD) juga menjadi perhatian. Chatib menyebut, APEC sepakat tidak mengarahkan mata uangnya pada level tertentu agar produknya lebih kompetitif di pasar ekspor. 'Kami juga akan melawan segala bentuk proteksionisme agar pasar tetap terbuka,' ucapnya.
Isu lain yang mendapat sorotan dalam pertemuan APEC adalah inklusi keuangan atau keterlibatan masyarakat dalam industri keuangan. Menurut Chatib, masih terdapat banyak sekali masyarakat di negara anggota APEC yang belum memiliki akses kepada sektor keuangan atau perbankan. 'Karena itu, APEC akan mendorong terbukanya akses bagi masyarakat ke sektor perbankan,' jelasnya.
Sebagai gambaran, berdasar Global Financial Inclusion Index 2012, inklusi keuangan di Indonesia masih sangat rendah, yakni 20 persen. Artinya, masih ada 80 persen masyarakat Indonesia yang belum bisa mengakses industri keuangan atau memiliki rekening tabungan bank.
Angka 20 persen ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN. Misalnya Thailand yang indeks iklusi keuangannya sudah 78 persen, lalu Malaysia 67 persen, Filipina 27 persen, dan Vietnam 21 persen.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Halim Alamsyah mengatakan, inklusi keuangan memang menjadi tantangan besar bagi industri keuangan di Indonesia. Dia mencontohkan, saat ini proporsi jumlah kantor bank yang ada di Indonesia adalah 1 banding 11.398. Artinya, 1 kantor bank harus melayani 11.398 orang. 'Karena itu, branchless banking melalui penggunaan telepon seluler untuk transaksi perbankan diharapkan bisa menjadi salah satu solusi,' terangnya. (owi/oki)
BACA JUGA: Stop KPR Inden, Risiko Developer Makin Besar
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mobil Murah Sasar Pasar Luar Negeri
Redaktur : Tim Redaksi