Menkeu: BBM Sulit Naik

Sabtu, 10 Mei 2014 – 07:50 WIB

JAKARTA - Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, meski ancaman pembengkakan subsidi BBM sudah di depan mata, pemerintah kini berpikir realistis untuk tidak menaikkan harga BBM subsidi pada tahun ini. "Sulit bagi pemerintah sekarang untuk menaikkan BBM," ujarnya kemarin (9/5).
       
Apa sebabnya? Chatib mengakui, pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM subsidi tanpa memberikan kompensasi kepada masyarakat miskin melalui Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), sebagaimana yang dilakukan saat menaikkan harga BBM pada 2013 lalu.

"Masalahnya, kalau memberikan kompensasi pada tahun ini, nanti bisa diartikan money politic," katanya menyitir tahun ini sebagai tahun politik seiring Pemilu 2014.

BACA JUGA: OJK Minta Syariah BPD Bermodal Cekak Merger

Menurut Chatib, pemerintah tidak ingin isu kenaikan harga BBM subsidi terus bergulir membesar dan memicu kegaduhan di masyarakat. Namun demikian, pemerintah tidak menutup opsi pengendalian konsumsi BBM bersubsidi. "Selain menaikkan harga, subsidi kan bisa dikurangi dengan mengendalikan konsumsi," katanya.
       
Karena itu, lanjut dia, Kementerian Keuangan akan serius menindaklanjuti usulan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang ingin menghapus BBM subsidi di ibukota. Pemerintah cukup optimistis jika cara tersebut akan efektif menjaga kuota volume BBM subsidi 48 juta kiloliter tahun ini agar tidak akan jebol. "Kalau tanpa kebijakan apa-apa, volume pasti jebol," ucapnya.
       
Sebelumnya, Direktur Divisi Energi, Sumber Daya Mineral, dan Pertambangan Bappenas Monty Girianna mengatakan, pihaknya kini tengah menyiapkan dua opsi terkait BBM subsidi yang akan disampaikan kepada pemerintah baru periode 2014 - 2019. "Opsi pertama adalah subsidi tetap. Opsi kedua adalah kenaikan harga bertahap," ujarnya.
       
Menurut Monty, opsi subsidi tetap atau harga BBM fluktuatif kini tengah dimatangkan oleh berbagai pihak, mulai dari Bappenas, Dewan Energi Nasional (DEN), hingga Kementerian Keuangan. Namun, dia mengakui jika opsi ini kurang tepat diaplikasikan ketika volatilitas harga minyak tinggi. "Sebab, harga jual BBM subsidi juga akan fluktuatif," katanya.
       
Dengan opsi ini, misalnya pemerintah mematok subsidi Rp 3.000 per liter. Maka, jika harga keekonomian Premium adalah Rp 10.000 per liter, maka harga Premium bersubsidi yang dijual ke masyarakat adalah Rp 7.000 per liter.

Namun, jika harga keekonomian naik jadi Rp 11.000 per liter, maka harga jual Premium bersubsidi menjadi Rp 8.000 per liter. Demikian pula jika harga keekonomian turun menjadi Rp 9.000 per liter, maka harga jual Premium bersubsidi akan turun menjadi Rp 6.000 per liter.
       
Bagaimana opsi kedua? Monty menyebut, opsi ini lebih sederhana, yakni dengan menaikkan harga BBM bersubsidi secara bertahap setiap enam bulan sekali, misalnya dengan naik Rp 500 atau 1.000 setiap enam bulan.

BACA JUGA: Pendapatan Tol Kebon Jeruk-Penjaringan Naik Rp 80 Juta Per Hari

"Jadi, dalam periode tertentu, harga BBM di masyarakat mencapai harga keekonomian tanpa subsidi," ucapnya.
       
Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menambahkan, idealnya pemerintah memang harus menghapus subsidi BBM agar anggaran ratusan triliun yang selama ini habis tersedot untuk subsidi BBM, bisa dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur. "Sebab, kita tidak ingin aggaran kita tersandera (subsidi)," ujarnya. (owi)

BACA JUGA: Pertamina Diminta Serahkan Seluruh Saham Pertagas ke PGN

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemerintah Alokasikan KPR Subsidi Rp 4,49 Triliun


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler