Kekhawatiran itu ternyata juga dirasakan oleh Menkopolhukam Djoko Suyanto. Bahkan secara tersirat juga menjadi kekhawatiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Karena itulah Presiden berpesan, agar kedua lembaga penegak hukum itu saling bersinergi menuntaskan kasus yang melibatkan petinggi Polri tersebut.
"Saya komunikasi dengan Ketua KPK dan Polri. Jangan sampai nuansa seperti zaman lalu cicak buaya antara KPK vs Polri (terjadi) seperti itu lagi. Dan mereka berjanji untuk bersinergi," kata Djoko pada wartawan di Jakarta, Selasa (31/7).
"Keduanya lembaga penegak hukum. Mereka (KPK dan Polri) harus sinergi untuk penegakan hukum, itu respon Presiden dan akan dilaksanakan," tambah Djoko.
Djoko meyakini antara KPK dan Polri tidak akan terjadi pertentangan. Terlebih lagi antara kedua lembaga juga sudah ada MOU. Yang terpenting adalah komunikasi antara kedua lembaga untuk sama-sama menuntaskan kasus dugaan korupsi.
Djoko juga meluruskan perihal pemberitaan yang menyebutkan penyidik KPK sempat dihalang-halangi membawa barang bukti dari gedung Korlantas Polri. Menurutnya hal tersebut hanya soal tertib administrasi saja dan sudah diselesaikan.
"Tidak ada lagi (rebutan berkas). Polri mendukung proses yang sudah dilaksanakan KPK. Mari kita dukung mereka dan jangan justru dipertentangkan," tegas Djoko.
Penangkapan perwira tinggi setingkat Jenderal DS oleh KPK, bisa dikatakan suatu langkah berani. Namun kekhawatiran akan terjadi kembali kriminalisasi KPK, sebagaimana yang dimetaforakan dengan istilah 'Cicak vs Buaya' kembali terulang. Istilah Cicak versus Buaya, bermula saat KPK menyatakan Kabareskrim Komjen Polisi Susno Duadji diduga menerima uang Rp10 miliar terkait Bank Century.
Karena merasa tidak terima namanya disebut-sebut bahkan teleponnya juga sempat disadap penyidik, Susno pun mengeluarkan pernyataan bahwa KPK sudah terlalu berani menyentuh ranah kepolisian. Yang diibaratkannya seperti Cicak melawan Buaya. Cicak untuk KPK karena baru terbentuk dan Buaya untuk kepolisian yang dinilai sudah lama serta sangat berpengalaman menangani kasus hukum.
Langkah KPK menyebut nama Susno mendapat 'balasan' dengan ditetapkannya dua pimpinan KPK saat itu, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto sebagai tersangka. Kedua pimpinan dituding menerima uang dari Anggodo Widjojo, adik buron kasus Sistem Korupsi Radio Terpadu (SKRT). Namun dugaan ini tidak pernah terbukti. Justru akhirnya berujung pada deponering atau penghentian perkara demi kepentingan umum setelah sempat singgah di meja para hakim Mahkamah Konstitusi (MK).
Kejadian ini bukan tidak mungkin terulang lagi. Karena meski menyatakan mendukung KPK, namun penyidik lembaga anti korupsi itu sempat dilarang membawa barang bukti keluar dari Korlantas Polri. Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Anang Iskandar, berdalih bukan menghalangi kerja KPK melainkan terjadi kesalahpahaman saja. Mengingat kasus yang sama juga telah diselidiki oleh pihak kepolisian.
"Prinsipnya kita mendukung langkah KPK. Bukan menghalang-halangi. Mereka masih koordinasi, permasalahannya penyidik Polri sudah melakukan penyelidikan dan sudah periksa 32 saksi oleh Bareskrim. Itu masih dikoordinasikan," kata Anang.(afz/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hakim Beda Pendapat di Sidang Miranda
Redaktur : Tim Redaksi