JAKARTA -- Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Neta S. Pane, mengatakan, kasus-kasus penyiksaan di Rumah Tahanan atau Lembaga Pemasyarakatan memang sudah menjadi rahasia umum.
Menurutnya, penyiksaan biasanya dilakukan terhadap tahanan yang tidak patuh dan tidak nurut pada sipir, yang terlibat perkelahian maupun melarikan diri.
"Penyiksaan-penyiksaan tersebut dilakukan memang di luar batas-batas pri kemanusiaaan," ujar Neta S. Pane, menjawab JPNN, Rabu (26/6).
Hal itu diungkapkan Neta, diminta tanggapannya terkait dugaan penyiksaan dua tahanan yang berhasil ditangkap setelah kabur di Tanjung Redeb, Kabupaten Berau.
Diberitakan, Jumat (21/6) lalu, petugas Rutan Klas IIB Tanjung Redeb berhasil menangkap dua penghuninya yang berusaha kabur. Namun disayangkan, tindakan anarkis yang dilakukan oknum petugas terhadap dua tahanan itu menuai kritik pedas karena dinilai melanggar hak asasi manusia (HAM).
Tindakan anarkis beberapa oknum petugas tersebut sempat terekam sebuah kamera video yang beredar di masyarakat. Ada dua video berdurasi pendek yang beredar, satu video berdurasi 2 menit 12 detik, satu lagi hanya 12 detik.
“Mereka perlakukan orang itu seperti binatang mulai dari semak-semak diangkat kemudian diinjak-injak dan tendang kepalanya. Penganiayaan tersebut dilakukan depan warga di sini termasuk anak-anak, dimasukkan dalam parit baru diinjak lagi,” ungkap Ranti bersama warga Gang Pelangi Jalan Mangga II, Tanjung Redeb, Kabupaten Berau yang menyaksikan penangkapan dua tahanan tersebut.
Neta menegaskan, penyiksaan terkadang dilakukan agar para tahanan yang umumnya para penjahat atau preman yang biasanya nekad itu menjadi ciut nyali pada sipir.
Selama ini, kata dia, Berbagai penyiksaan ini tidak pernah dipersoalkan, baik oleh keluarga korban maupun oleh instituasi berwenang. "Sehingga penyiksaan-penyiksaan itu selalu berulang," ujar Neta.
Karenanya, dia mengatakan, dalam kasus di Berau, ini Komnas HAM dan keluarga korban harus memersoalkannya. "Dengan cara melaporkan kasus ini ke polisi agar terjadi proses hukum," ujarnya.
Neta juga menegaskan, Menteri Hukum dan HAM, harus turun tangan mengusut kasus ini. Penyiksaan yang merupakan tindak pidana harus diproses secara hukum. "Menkumham jangan membiarkannya, apalagi melindungi pelakunya," kata Neta.
Dia pun menyatakan, video penyiksaan yang beredar di masyarakat bisa menjadi bukti dalam kasus ini. Kata Neta, proses hukum dalam kasus ini harus dilakukan agar Lapas tidak menjadi lembaga penyiksaan. "Tapi benar-benar menjadi lembaga pembinaan," katanya.
Dia menyatakan, pengawasan di Lapas sebenarnya tidak ada dan selalu bisa dinegosiasikan. "Terbukti para tahanan bisa bebas memakai handphone, laptop dan lainnya. Semuanya ada nilai dan bayarannya," pungkas Neta.
Sedangkan Wakil Menkumham, Denny Indrayana, ketika dikonfirmasi JPNN, Rabu (26/6), belum memberikan jawaban. Short Messages Service yang dikirim belum dibalas sampai berita ini diturunkan. (boy/jpnn)
Menurutnya, penyiksaan biasanya dilakukan terhadap tahanan yang tidak patuh dan tidak nurut pada sipir, yang terlibat perkelahian maupun melarikan diri.
"Penyiksaan-penyiksaan tersebut dilakukan memang di luar batas-batas pri kemanusiaaan," ujar Neta S. Pane, menjawab JPNN, Rabu (26/6).
Hal itu diungkapkan Neta, diminta tanggapannya terkait dugaan penyiksaan dua tahanan yang berhasil ditangkap setelah kabur di Tanjung Redeb, Kabupaten Berau.
Diberitakan, Jumat (21/6) lalu, petugas Rutan Klas IIB Tanjung Redeb berhasil menangkap dua penghuninya yang berusaha kabur. Namun disayangkan, tindakan anarkis yang dilakukan oknum petugas terhadap dua tahanan itu menuai kritik pedas karena dinilai melanggar hak asasi manusia (HAM).
Tindakan anarkis beberapa oknum petugas tersebut sempat terekam sebuah kamera video yang beredar di masyarakat. Ada dua video berdurasi pendek yang beredar, satu video berdurasi 2 menit 12 detik, satu lagi hanya 12 detik.
“Mereka perlakukan orang itu seperti binatang mulai dari semak-semak diangkat kemudian diinjak-injak dan tendang kepalanya. Penganiayaan tersebut dilakukan depan warga di sini termasuk anak-anak, dimasukkan dalam parit baru diinjak lagi,” ungkap Ranti bersama warga Gang Pelangi Jalan Mangga II, Tanjung Redeb, Kabupaten Berau yang menyaksikan penangkapan dua tahanan tersebut.
Neta menegaskan, penyiksaan terkadang dilakukan agar para tahanan yang umumnya para penjahat atau preman yang biasanya nekad itu menjadi ciut nyali pada sipir.
Selama ini, kata dia, Berbagai penyiksaan ini tidak pernah dipersoalkan, baik oleh keluarga korban maupun oleh instituasi berwenang. "Sehingga penyiksaan-penyiksaan itu selalu berulang," ujar Neta.
Karenanya, dia mengatakan, dalam kasus di Berau, ini Komnas HAM dan keluarga korban harus memersoalkannya. "Dengan cara melaporkan kasus ini ke polisi agar terjadi proses hukum," ujarnya.
Neta juga menegaskan, Menteri Hukum dan HAM, harus turun tangan mengusut kasus ini. Penyiksaan yang merupakan tindak pidana harus diproses secara hukum. "Menkumham jangan membiarkannya, apalagi melindungi pelakunya," kata Neta.
Dia pun menyatakan, video penyiksaan yang beredar di masyarakat bisa menjadi bukti dalam kasus ini. Kata Neta, proses hukum dalam kasus ini harus dilakukan agar Lapas tidak menjadi lembaga penyiksaan. "Tapi benar-benar menjadi lembaga pembinaan," katanya.
Dia menyatakan, pengawasan di Lapas sebenarnya tidak ada dan selalu bisa dinegosiasikan. "Terbukti para tahanan bisa bebas memakai handphone, laptop dan lainnya. Semuanya ada nilai dan bayarannya," pungkas Neta.
Sedangkan Wakil Menkumham, Denny Indrayana, ketika dikonfirmasi JPNN, Rabu (26/6), belum memberikan jawaban. Short Messages Service yang dikirim belum dibalas sampai berita ini diturunkan. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PAN Setuju RUU Wajibkan Ormas Laporkan Kucuran Dana Asing
Redaktur : Tim Redaksi