JAKARTA--Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin mengatakan, tidak semua jabatan publik/ negara disebutkan atau diatur dalam UUD 1945. Namun, tak berarti jabatan publik yang tak disebut dalam UUD 1945 menyebabkan jabatan itu bertentangan dengan konstitusi.
Amir membandingkan dengan jabatan gubernur, walikota, bupati yang disebut dalam UUD 1945, sementara jabatan wakil kepala daerah tak disebut dalam UUD 1945. Namun, tidak berarti jabatan wakil kepala daerah dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
“Ini merupakan pilihan kebijakan (legal policy) pembuat undang-undang apakah suatu jabatan wakil dibutuhkan atau tidak meski tak diatur dalam Konstitusi. Seperti halnya dengan jabatan Jaksa Agung, Kapolri, dan Pimpinan KPK yang tak disebut dalam konstitusi, tetapi tetap dianggap sah,” kata Amir saat memberikan keterangan pemerintah dalam pengujian Pasal 10 UU Kementerian Negara di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (24/1).
Ia menegaskan jabatan wamen merupakan hak prerogatif presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang yakni lewat Pasal 10 UU Kementerian Negara itu yang disesuaikan dengan kebutuhan setiap kementerian. Sebab, jabatan wamen bukanlah jabatan struktural yang harus ada dalam setiap kementerian.
Karena itu lanjut dia, tak ada yang salah tindakan pengangkatan 20 wamen oleh presiden yang dipersoalkan pemohon. “Memang UUD 1945 tidak menyebut jenis jabatan wamen, tetapi tak berarti bertentangan dengan UUD 1945, makanya pembentuk undang-undang membedakan antara wamen dan menteri meski sama-sama ditunjuk dan dilantik presiden,” ujarnya.
Selain itu, pemerintah mempertanyakan kedudukan hukum (legal standing) pemohon. “Apakah dengan berlakunya Pasal 10 UU Kementerian Negara telah merugikan atau menghalangi pemohon khususnya untuk berperan aktif dalam pemberantasan korupsi atau ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan terkait pemilihan wakil menteri oleh presiden?” katanya.
Menurutnya, pemohon tak dapat menyebutkan kerugian konstitusional secara spesifik dan hubungan sebab dan akibat antara kerugian dan berlakunya pasal yang diuji. Menurutnya, sebagai organisasi kemasyarakatan yang memiliki tujuan, dalam penyelenggaraan negara, tidaklah tepat jika pemohon menguji Pasal 10 ini. Sebab, UU Kementerian Negara mengatur tugas dan fungsi susunan organisasi kementerian.
“Pengujian undang-undang ini menyangkut struktur organisasi pemerintahan yang tak relevansinya dengan pemohon. Yang seharusnya dilakukan pemohon adalah mengawasi jalannya pemerintahan agar sesuai dengan peraturan dan asas-asas pemerintahan yang baik. Karenanya, legal standing pemohon dalam pengujian undang-undang ini tak jelas,” pungkasnya.
Ditemui usai sidang, Ketua Umum GNPK Adi Warman mengelak jika dikatakan GNPK tidak memiliki legal standing. “Wajarlah pemerintah membela diri, tetapi sangat disayangkan pemerintah tak mempelajari permohonan kami dengan cermat,” katanya.
Menurutnya, pemerintah seharusnya melihat Pasal 5 AD/ART GNPK yang menyebutkan maksud dan tujuan GNPK didirikan untuk berperan aktif dalam penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN sebagaimana diamanatkan Pasal 8 dan 9 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN.
“Disitu dikatakan dan hak dan tanggung jawab masyarakat untuk ikut berperan aktif dalam pemerintahan. Kalau pemerintahan ‘ngaco’ seperti ini, kita harus berperan aktif lewat pengujian undang-undang ini. Ini juga tak hubungannya dengan pengangkatan Denny Indrayana sebagai wamen.” tandas Adi. (kyd)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Rp382 Miliar Anggaran Setneg Tak Terpakai
Redaktur : Tim Redaksi