JAKARTA - Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat ini dinilai tidak memperlihatkan sikap dan jiwa kenegarawanan. Karenanya, di KIB II juga tidak memunculkan tokoh yang mumpuni.
"Para menteri KIB II tidak ada memperlihatkan kemampuan negarawan dalam memimpin bangsa sehingga tidak muncul calon pemimpin negara yang mumpuni," kata Direktur Negarawan Center, Johan O Silalahi kepada pers, di Jakarta, Kamis (3/5).
Johan justru mempertanyakan para menteri di KIB II yang tidak memanfaatkan posisinya dengan baik untuk memperlihatkan kemampuan, kepemimpinan, dan sikap kenegarawanannya sebagai penyelenggara negara. “Saya jadi bertanya-tanya, apakah kemampuan para menteri memang hanya sebatas pembantu presiden saja, atau karena kesalahan presiden dalam memilih pembantunya?” tanya dia.
Lebih lanjut Johan yang juga juga Ketua Koordinasi Polhukam di Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) ini mengatakan, idealnya kandidat presiden mendatang muncul dari tokoh yang kini duduk sebagai menteri. Hal itu bisa terjadi apabila jika yang dipilih SBY untuk menjadi menteri adalah sosok yang memiliki kapasitas dan kapabilitas sebagai pemimpin, bukan sekedar pembantu presiden yang menjalankan program kementeriannya.
“Memang ada menteri kabinet yang menyatakan siap menjadi capres. Ada juga yang berusaha menempatkan diri sebagai bakal calon. Namun menurut saya, tidak ada satu pun yang memiliki kualifikasi sebagai capres,” katanya.
Berbeda dengan para menteri kabinet periode awal reformasi. Johan menyebut sosok Jusuf Kalla yang pernah menjadi menteri di masa pemerintahan Megawati, kemudian menjadi tokoh yang diperebutkan sejumlah calon presiden untuk menjadi calon wakil presiden.
"Ini catatan sejarah tersendiri dalam kiprah dan sejarah wakil presiden. Sekarang pun, setelah tidak menjabat wapres, kerja-kerja sosial untuk bangsa dan negara diakui dunia internasioanl, makanya banyak pihak memintanya untuk menjadi calon presiden mendatang." kata Johan.
Sebaliknya saat ini, para menteri tidak manunjukkan kualitas yang hebat dan menonjol. “Ironisnya, menteri yang berasal dari partai atau didukung partai, cenderung memanfaatkan posisi dan jabatan menteri untuk kepentingan partai. Jadi, koalisi partai hanya membagi kekuasaan dan terbukti kurang efektif, sebab partai koalisi kerap melawan kebijakan pemerintah,” tutur Johan.(fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Rektor PTN Diminta Siap-siap Diperiksa KPK
Redaktur : Tim Redaksi