jpnn.com, JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif membeberkan beberapa opsi yang akan dijalankan Pemerintah untuk menurunkan harga gas industri. Penurunan tarif gas industri ini sesuai amanat Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
"Pemerintah telah menyusun opsi untuk menurunkan harga industri tertentu sampai dengan target Maret 2020," kata Arifin dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI di Jakarta, Senin (27/1).
BACA JUGA: Produksi Gas Industri Naik 300 Persen
Biaya penyaluran, kata Arifin, menjadi komponen penentu dalam menetapkan harga gas industri. Untuk itu, Pemerintah akan memangkas biaya transmisi di sejumlah wilayah, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Bagian Selatan, Jawa Barat dan Jawa Timur.
Biaya transmisi ini sendiri diatur dan ditetapkan oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Nomor 8 Tahun 2013 tentang Penetapan Tarif Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa. Selama ini, biaya transmisi berada dikisaran 0,02 dolar - 1,55 dolar MMBTU.
BACA JUGA: Gunakan Gas Bumi, Industri Hemat Produksi 40 Persen
Selain menurunkan biaya transmisi, pemerintah juga akan mengevaluasi kembali biaya distribusi dan biaya niaga.
"Biaya penyaluran (transmisi dan distribusi) dan biaya niaga merupakan bagian dari menjalankan opsi pertama pemerintah dalam mengurangi jatah negara dan efisiensi penyaluran gas," kata Arifin.
BACA JUGA: Pesan Mengerikan dari Suster tentang Pasien Virus Corona Jadi Trending Topic
Kewajaran transmisi akan menjadi pertimbangan utama sebagaimana yang dijalankan di Blok Kangean, Madura. Di blok ini sebelumnya terdapat formula yang menyebabkan kenaikan harga gas sebesar 3 persen per tahun. "Ini sudah kami hapuskan," katanya.
Opsi kedua, kewajiban badan usaha pemegang kontrak kerja sama untuk menyerahkan sebagian gas kepada negara (Domestic Market Obligation/DMO). Kewajiban ini akan segera ditetapkan dalam aturan DMO baru. "Kita akan membagi kepada industri-industri yang strategis dan pendukung dan mana yang bisa dilakukan perdagangan sesuai dengan kewajaran bisnis," kata Arifin.
Pilihan kebijakan terakhir adalah impor gas. "Kami memberikan keleluasaan bagi swasta mengimpor gas untuk pengembangan kawasan industri yang belum terhubung jaringan gas," ujar Arifin.
Ketiga opsi ini sedang dalam tahap kajian oleh Kementerian ESDM di mana kebijakan yang ditentukan tidak akan merugikan bisnis gas yang tengah berjalan.
"Kami sedang melakukan pengkajian cukup detail dan bagaimana mekanisme penyaluran yang ada dan kontrol terhadap distribusi gas tanpa merugikan investor yang terlibat di dalamnya," katanya.
Arifin menghimbau mekanisme pengambilan kebijakan penuruan harga gas nantinya akan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
"Apapun keputusan terkait harga gas industri nanti akan mengacu pada aturan yang berlaku," katanya.
Arifin mengakui, sejauh ini masih ada beberapa industri yang belum mengikuti penyesuaian, yaitu harga gas industri keramik (7,7 dolar per MMBTU), kaca (7,5 dolar per MMBTU), sarung tangan karet (9,9 dolar per MMBTU), dan oleokimia (8 - 10 dolar per MMBTU).
Baru industri pupuk, petrokimia dan baja yang sudah mengalami penyesuaian harga sesuai Perpres Nomor 40 Tahun 2016 sebesar USD6 MMBTU. Untuk industri pupuk, penyesuaian harga gas terjadi di PT Pupuk Kalimantan Timur 1-4 dengan harga 3,99 dolar per MMBTU, PT Pupuk Sriwidjaja Palembang 6 dolar per MMBTU, PT Pupuk Iskandar Muda 6 dolar per MMBTU, dan PT Pupuk Kujang 5,84 per dolar MMBTU.
Untuk industri petrokimia, pemerintah menetapkan harga gas PT Petrokimia Gresik senilai 6 dolar per MMBTU dan PT Kaltim Parna Industri 4,04 dolar per MMBTU. Sementara itu, harga gas untuk sektor baja dikenakan sebesar 6 dolar per MMBTU di PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.
Harga jual gas industri sendiri ditetapkan dari beberapa komponen pembentuk, yaitu harga gas hulu, biaya penyaluran dan biaya niaga.
(antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Fajar W Hermawan