jpnn.com, JAKARTA - Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (UU CK) yang dikenal sebagai UU Omnibus Law yang baru disahkan, sangat penting selain sesuai dengan tujuan utamanya untuk penciptaan lapangan kerja sehingga menyederhanakan prosedur perizinan dan mengatasi hambatan penyediaan lapangan kerja bagi angkatan kerja baru.
“UU Cipta Kerja juga penting dalam menyelesaikan masalah menahun berkaitan dengan masalah-masalah konflik tenurial terkait kawasan hutan, kriminalisasi masyarakat lokal (adat) dan masalah-masalah kebun di dalam kawasan hutan,” ujar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar, Kamis (8/10) dalam keterangan tertulis, menyikapi RUU yang baru disahkan DPR pada 5 Oktober lalu.
BACA JUGA: Bamsoet Minta Kader Golkar dan Tokoh Masyarakat Banjarnegara Sosialisasikan RUU Cipta Kerja
Menteri Siti Nurbaya menjelaskan UU Cipta Kerja ini sekaligus menegaskan keberpihakan kepada masyarakat dengan mengedepankan restorative justice dan juga mengangkat bahwa perizinan berusaha juga untuk masyarakat bukan hanya investasi swasta, tetapi juga melalui perhutanan sosial.
“Terkait sektor kehutanan, keberpihakan kepada masyarakat juga tercermin dari pengaturan sanksi dimana pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat yang bermukim disekitar hutan, dikenakan sanksi administrasi (bukan pidana) dan diikutkan dalam kebijakan penataan kawasan hutan (hutan sosial, kemitraan konservasi, Tanah Objek Reforma Agraria atau TORA). Oleh karena itu jelas bahwa dengan UU ini pemerintah berpihak pada rakyat,” papar Siti Nurbaya.
BACA JUGA: Meluruskan Hoaks RUU Cipta Kerja, Airlangga Hartarto: Ini Mengutamakan Kepentingan Rakyat
Dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja untuk substansi KLHK ini ungkap Siti Nurbaya, terbagi dalam 2 (dua) bagian yaitu bagian persetujuan lingkungan yang menjadi persyaratan dasar perizinan berusaha dan bagian perizinan berusaha dan kemudahan persyaratan investasi dari sektor kehutanan. Dan berkaitan dengan 3 UU yaitu UU 32 tahun 2009, UU 41 Tahun 1999 dan UU Nomor 18 Tahun 2013.
Kawasan Hutan
BACA JUGA: Ketahuilah, Program TMMD Tidak Hanya Berorientasi Kegiatan Fisik
Sementara itu, Menko Ekuin Airlangga Hartarto ketika menjelaskan soal UU Cipta Kerja khususnya mengenai Klaster Peningkatan Ekosistem Investasi (3/3) menjelaskan:
1. Kawasan Hutan
• Besaran minimum Kawasan Hutan 30% yang semula diatur dalam UU akan diatur dengan PP.
• Pelaksanaan Dampak Penting, Cakupan Luas Serta Bernilai Strategis (DPCLS) yang semula melibatkan DPR diubah hanya dilakukan oleh Pemerintah dengan pertimbangan DPCLS adalah kegiatan teknokratik dan Kawasan hutan sudah terintegrasi dengan tata ruang
2. Penyelesaian Keterlanjuran Kawasan Hutan
• Terdapat kebun rakyat dan korporasi dalam kawasan hutan serta belum punya izin (keterlanjuran) → Pelanggaran pidana (UU Nomor 28 Tahun 2013)
• Keterlanjuran tersebut perlu diselesaikan. Untuk korporasi dikenakan denda yang merupakan penerimaan negara.
• Pelanggaran atas kegiatan di kawasan hutan setelah UU Cipta Kerja, dikenakan pidana
Sedangkan untuk Klaster Penyederhanaan Perizinan Berusaha, dijelaskan oleh Menko Ekuin.
1.Penerapan Perizinan Berbasis Risiko
Mengubah dari berbasis izin (license base) ke berbasis risiko (risk based).
a. Risiko tinggi (izin)
b. Risiko menengah-tinggi (pemenuhan standar)
c. Risiko menengah-tinggi (pernyataan standar)
d. Risiko rendah (cukup pendaftaran/NIB).
2. Kesesuaian Tata Ruang
• Menghapus izin lokasi bila sudah sesuai dengan RDTR digital.
• Pengintegrasian tata ruang (darat, pesisir, dan laut)
• Percepatan penetapan RTRW dan pelaksanaan Satu Peta.
3. Persetujuan Lingkungan
• Pengintegrasian persetujuan lingkungan ke dalam perizinan berusaha.
• AMDAL tetap ada untuk kegiatan yang berisiko tinggi kepada lingkungan.(jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Friederich