Menunda Proyek Infrastruktur Solusi Selamatkan Rupiah

Kamis, 06 September 2018 – 00:22 WIB
Pengamat ekonomi Shanti Ramchand menggelar konferensi pers terkait kondisi nilai tukar rupiah di kawasan Jakarta Pusat, Rabu (5/9). Foto: Fathan Sinaga

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat ekonomi Shanti Ramchand menyarankan pemerintah menunda pengerjaan megaproyek infrastruktur dan mengalihkannya ke sektor ekonomi riil. Hal ini menurutnya, bisa menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.

"Saya usulkan, proyek-proyek yang tadinya sudah pipeline, belum dilaksanakan dan masih bisa diberhentikan, dihentikan dulu. Uangnya digunakan untuk mengamankan rupiah," kata Shanti saat menggelar konferensi pers di kawasan Jakarta Pusat, Rabu (5/9).

BACA JUGA: Rupiah Melemah, OSO Imbau Masyarakat Tidak Perlu Khawatir

Pakar perdagangan internasional ini memprediksi, penundaan tiga megaproyek dengan mengalihkan dananya ke sektor riil bisa menekan nilai tukar rupiah menjadi Rp 13 ribu. "Tiga megaproyek saja di-reschedule tahun depan atau dua tahun ke depan, itu bisa turun," jelasnya.

Dia juga mengapresiasi adanya niatan pemerintah yang menunda megaproyek di PLN. Wanita yang merupakan President ASEAN International Advocacy juga mengusulkan, pemerintah juga perlu mengecilkan alokasi anggaran untuk subsidi BBM.

BACA JUGA: Rupiah Kian Terpuruk, Ini Penjelasan Terkini Jokowi

Lebih lanjut kata dia, pembangunan infrastruktur yang digenjot oleh pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla selama empat tahun terakhir, sudah sangat bermanfaat pada masa mendatang terutama dalam menghadapi era ekonomi digital.

Namun, lanjutnya, pembangunan proyek-proyek infrastruktur tersebut harus diakui juga membuat ekonomi Indonesia mengalami overheating.

BACA JUGA: Boleh Berapa pun Asal Stabil

"Saya juga merasa bahwa pemerintahan Jokowi harus slowdown dulu. Reserved cash yang ada di BI, pakai dulu untuk talangi dolar," jelas dia.

Dia menjelaskan, kondisi melemahnya rupiah terhadap dolar yang hampir menembus Rp 14.920 per hari ini, karena dua aspek besar. Pertama karena meningkatnya sifat konsumsi masyarakat dunia sehingga menciptakan friksi dalam ekonomi. Kedua, karena perang dagang dan kebijakan sepihak yang dicetuskan Amerika Serikat.

Di samping itu, Shanti juga menilai, kondisi nilai tukar rupiah saat ini berbeda dengan situasi seperti di 1998. Ketika itu, nilai tukar rupiah telah mengantarkan Indonesia pada sebuah krisis moneter.

"Karakter kenaikan dolar terhadap rupiah pada 1998 dengan 2018 berbeda. Pada 1998 sudah ada banyak bank yang bangkrut, tutup dan merger," terang Shanti. (tan/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Darmin Tak Mau Ada Gerakan Cinta Rupiah


Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler