jpnn.com, PADANG - Jumlah kasus positif COVID-19 di Sumatera Barat terus meningkat.
Total hingga Rabu (6/5), warga di Ranah Minang yang positif COVID-19 menjadi 238 orang, peringkat satu di Sumatera, urutan ke sepuluh secara nasional.
BACA JUGA: Polisi Membuntuti dan Mengadang Mobil Ferdian Paleka, Aduh, Ternyata
Namun, ahli kesehatan dari Fakultas Kedokteran Universitas Andalas (Unand) Padang Dr dr Andani Eka Putra menilai peningkatan kasus positif COVID-19 di Sumbar pertanda baik dari sudut pandang penanganan wabah.
"Saya berani mengatakan kalau kasus kita banyak dan meningkat terus, itu menggembirakan karena yang ditemukan adalah orang-orang yang berpotensi menularkan sehingga bisa diputus mata rantai COVID-19 ini," katanya di Padang, Kamis (7/5).
BACA JUGA: Bisa Pulang, Mahasiswa Ucapkan Terima Kasih ke Garuda Indonesia
Menurut Kepala Pusat Diagnostik dan Riset Penyakit Infeksi Fakultas Kedokteran Unand tersebut, dalam penanganan COVID-19, yang paling utama dilakukan adalah menegakkan identifikasi kasus dan segera melakukan pemutusan mata rantai penularan.
"Coba bayangkan kalau orang tanpa gejala tidak teridentifikasi, berapa banyak orang-orang akan terinfeksi oleh mereka sehingga kasus semakin membesar," katanya
Ia menjelaskan hingga saat ini jumlah pasien positif COVID-19 di Sumbar sebanyak 72,6 persen merupakan orang dalam pemantauan (ODP) dan orang tanpa gejala (OTG) dan hanya 27,4 persen pasien dalam pengawasan (PDP) yang berada di rumah sakit.
BACA JUGA: Aa Gym: Cincin Berliannya di Mana, Bang Hotman?
"Artinya data ini memperlihatkan ada upaya serius Sumbar untuk mendeteksi sebanyak mungkin OTG dan ODP karena mereka adalah sumber penular," katanya.
"Ini berbeda dengan data nasional yang saat ini sebanyak 72,6 persen pasien positif berada di rumah sakit dan hanya 24,4 persen berstatus OTG," tambahnya.
Menurut dia dalam penanganan wabah idealnya harus ada upaya penemuan kasus secara aktif melalui survei dan pelacakan sehingga rumah sakit adalah benteng terakhir.
Ia melihat temuan kasus positif artinya dijumpai orang-orang yang menjadi sumber penularan dan jika semakin banyak dijumpai kian baik untuk proses memutus mata rantai penyebaran.
"Prinsip utama pencegahan pandemi adalah menemukan sebanyak-banyaknya orang yang menjadi sumber penularan, bukan mengobati di rumah sakit, karena kalau cuma mengobati sementara sumber penular dibiarkan kasusnya akan menggurita," katanya.
Terkait dengan puncak kasus di Sumatera Barat ia memperkirakan akan terjadi ketika sekitar 50 persen populasi sudah terinfeksi.
"Akan tetapi kalau sumber penularan bisa dikontrol sejak awal maka puncaknya akan melambat dan tidak tinggi angkanya, bahkan kalau semakin cepat mendeteksi puncaknya tidak akan muncul," katanya.
Akan tetapi kalau tidak dilakukan deteksi dini dan terjadi ledakan kasus ia menilai Sumatera Barat tidak akan siap dan bisa menyebabkan korban meninggal 5.000 per hari.
Ia memberi contoh ledakan kasus di Amerika Serikat angka kematian mencapai 2.500 per hari dengan fasilitas kesehatan, SDM dan anggaran yang bagus.
"Oleh sebab itu karena tidak siap dengan itu maka mari semua pihak sejak awal bersama memutus mata rantai penularan agar tidak sampai pada tahap ledakan," kata Andani Eka Putra.
Sementara berdasarkan data yang dihimpun dari Pemprov Sumbar, sejak ditemukan kasus positif pertama COVID-19 pada 26 Maret 2020 hingga 6 Mei 2020 terdapat 238 kasus positif, 98 dirawat, 61 isolasi mandiri di rumah, 31 isolasi di Balai Pelatihan Kesehatan (Bapelkes), 12 isolasi di BPSDM, 16 meninggal dan 38 sembuh. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Soetomo