jpnn.com, JAKARTA - Dunia pendidikan dan iklim intelektual di Indonesia menghadapi persoalan yang sangat berat.
Salah satu yang mengemuka, kata dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Dr Herlambang P Wiratraman, termasuk di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo terkait tradisi kebebasan akademik.
BACA JUGA: Guru Besar UI Menyampaikan Kritik Keras Ditujukan kepada Kaum Intelektual
"Tradisi kebebasan akademiknya kurang. Bahkan bisa dibilang tidak ada," ujar Herlambang di kanal YouTube Bravos Radio Indonesia, Rabu (21/4).
Dalam riset yang dikerjakannya pada 2015, Ketua Pusat Studi HAM Universitas Airlangga periode 2015-2019 ini, mendapati banyak serangan masif terhadap kebebasan akademik.
BACA JUGA: Vaksin Merah Putih Buatan Unair Gunakan Metode Inactivated Virus, Berikut Penjelasannya
Bahkan, hingga 2018 tercatat sekitar 67 kasus serangan kepada dosen.
"Ada dosen mengembangkan metode saja bisa diancam dibunuh, menyinggung soal postmodernisme itu bisa dipecat, sampai kasusnya masuk PTUN dan macam-macam," ungkapnya.
BACA JUGA: Penyidik KPK Tampung Uang Suap di Rekening Teman Wanitanya, Bukan Hanya dari Wali Kota, Sontoloyo!
Dikatakannya, dosen yang mengkritisi soal uang kuliah tunggal (UKT) konsekuensinya diskorsing dan seterusnya. "Padahal itu bagian dari kebebasan akademik," ujarnya.
Kemudian, politik kekuasaan bekerja menundukkan ilmuwan atau intelektual, termasuk kampus. Jika dirunut sejarah tentang hal ini, sangat lengkap sejak masa Soekarno.
"Walaupun saat Soekarno banyak kampus berdiri di masa depan tetapi catatan kritik terhadap masa-masa itu, intelektual diupayakan untuk memasok kepentingan nasional dan revolusinya," tegasnya.
Di masa Soeharto, lanjutnya, lebih masif tekanannya. Hal ini sesuai studi Dr Abdul Wahid dari Fakultas Ilmu Budaya UGM yang menjelaskan Indonesia kehilangan satu generasi intelektual karena dibuang atau diasingkan akibat pemikirannya.
"Ada yang dibuang di Pulau Buru atau dibunuh, bahkan tidak bisa pulang karena diasingkan," kata Herlambang mengutip hasil studi Abdul Wahid. (esy/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad