Menyalakan Ikon Jakarta

Minggu, 07 Juli 2013 – 11:39 WIB
PEKAN lalu, setelah perjalanan singkat saya ke London, sekarang saya sedang berada di Jakarta dan berjalan di taman yang mengelilingi Monumen Nasional (Monas), monumen yang digagas oleh Sukarno dan didesain oleh R.M Soedarsono.

Jalan yang luas (untungnya sudah diberlakukan car free day) dipenuhi oleh banyak orang. Ada keluarga, anak-anak yang tak terhitung jumlahnya melesat di kerumunan pejalan kaki, dan sejumlah pedagang yang menjual minuman dan makanan ringan. Karena sore ini sangat cerah (tidak berkabut asap seperti di Kuala Lumpur) keramaian menjadi lebih rileks dengan berkumpulnya semua orang menjadi satu– menikmati cuaca yang menyenangkan.

Saya sedang sibuk mencari tempat duduk yang agak tinggi. Tapi karena saya masih dalam keadaan jet-lag dan miskomunikasi dengan kantor saya, saya sedikit kabur. Apa yang saya lakukan dengan berjalan-jalan di taman Monas ini? Apa yang seharusnya saya kerjakan?

Namun setelah menjumpai bangku yang saya maksud dan mendongak sejenak ke atas, saya melihat outdoor yang luar biasa besar, tingginya 132 meter berbahan obelisk – ternyata, struktur dasar yang bergerigi itu bisa menjadi sebuah bangunan.

Skala tersebut cukup membuat saya tertarik. Ada pencahayaan utama yang dipasang di atasnya dan terlihat memiliki empat sorot, mungkin hingga lima. Dari sana,  saya sadar bahwa apa yang saya lihat adalah sesuatu yang besar – mungkin bisa dikatakan sangat-sangat besar.

Saya duduk di kursi dan menggenggam program pertunjukan yang berformat besar (berjudul Ariah) di tangan, saya melihat sekeliling secara teliti, menyerap pemandangan yang membuat saya mengantuk.

Namun tidak lama kemudian saya mendaftarkan diri untuk menghadiri acara pertunjukan spektakuler dari Atilah Soeryadjaya (saya melewatkan produksinya tahun lalu, Matah Ati) dan Jay Subiatko yang bertanggung jawab atas desain panggung, seketika semuanya berubah menjadi gebyar.

Sebuah orkestra yang sangat besar dan menggentarkan melebur ke dalam pertunjukan dua ratus penari yang memenuhi seisi panggung, mengisi ruangan dari granit dan marmer yang luas dan kosong menjadi lebih berwarna.

Sekarang, saya sudah menjelaskan sebelumnya, saya sulit untuk berkonsentrasi saat menonton pertunjukan, oleh karenanya saya menghindari untuk bermain-main dan bertahan untuk duduk di sini lebih lama lagi. Saya mulai gelisah seperti tingkah anak umur 5 tahunan, jadi lebih baik saya melakukan hal lain daripada mengganggu penonton lain.

Namun kali ini, saya malah terpaku walaupun badan sedang dalam keadaan letih. Padahal alur cerita lumayan akrab di telinga – Ariah, seorang perempuan Betawi berjuang untuk hidup, mencintai dan mati demi mempertahankan kehormatannya – nilai-nilai produksi pertunjukan ini, musik dan suguhannya sungguh luar biasa megah. Singkatnya penonton berteriak SPEKTAKULER.

Sorot lampu yang mengelilingi panggung mengubah bentuk batu menjadi bermacam-macam permukaan dengan warna yang berbeda-beda – ada yang berbintik-bintik dan berlarik-larik kemudian menjadi tiba-tiba biru dan merah tua sebelum akhirnya perhatian seluruh penonton dikejutkan dengan ledakan kembang api dan bahkan kobaran api.

Adegan pertarungan sangat kuat dan atletis diperankan oleh aktor dan aktris yang tangkas naik turun panggung yang sangat luas, diikuti semangat dan gairah luar biasa mereka dalam memainkan lagu. Sesaat saya sempat berfikir bahwa sang pelatih mungkin saja merasa sedang di pelatihan triathlon.

Teater, diukur di skala ini –digelar untuk menghibur, menggerakkan dan menginspirasi ribuan (bisa jadi lebih) orang dengan elegan. Bersama Ariah, saya mengalami “perasaan yang tidak beranjak” dengan teater outdoor, penuh dengan “Son et Lumiere” (pertunjukan suara dan pencahayaan) yang spektakuler, membawa Monas sebagai ikon nasional menjadi terasa lebih hidup.

Saya menyadari Jakarta membutuhkan pertunjukan sejenis ini lebih banyak lagi – lebih berani, tanpa kompromi dan penuh semangat tinggi – menunjukkan bahwa betapa besarnya sebuah kota ini juga ditentukan wilayah-wilayah terpencil dan beragam.

Akan selalu ada tempat di mana hal kecil, intens dan erat dimainkan, tapi malam itu di Lapangan Merdeka, Ariah itu ibaratnya sprezzatura – gesture agung – dan berhasil karena ia tampil tanpa malu-malu.[***]

BACA ARTIKEL LAINNYA... Art Basle Hongkong

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler