Menyapa Art Center Melbourne dengan Pesan Cinta

Selasa, 03 Agustus 2010 – 17:25 WIB
Memet Chairul Slamet, komposer, konsuktor dan pimpinan Gangsadewa. Foto: Don Kardono/Indopos

Memet Chairul Slamet, master flute dan komposer  jebolan ISI Jogjakarta itu seolah merepresentasi kebudayaan negeriTiupan lima macam alat musik tradisional dari berbagai daerah di Indonesia itu cukup membuat merinding sekitar 350 penikmat musik di Fairfax Studio, Art Center Melbourne, Australia, 1 Agustus lalu

BACA JUGA: Rahmat Peypers Hidayat, dari Belanda Menemui Ibu Kandung di Lamongan



Laporan DON KARDONO, Melbourne

SATU setengah jam, Memet bersama grupnya Gangsadewa mengeksplorasi musik kontemporer
Memadukan gamelan yang bernuansa etnik dengan bas-melodi gitar elektrik dan organ yang modern

BACA JUGA: Wanadri, Organisasi Pencinta Alam yang Tetap Eksis sejak 1964

Alunan kendang, rebab, boning (Padang), bongo (Papua), ketipung (Pesisir), siter (Jawa), Bansi (Padang, sarunai (Padang), flute, genggong (Jawa), kecapi (Sunda)
Kendang (Sunda-Jawa), taganing (Batak), gender (Jawa), rindik (Bali), bedug (rekayasa sendiri) dan sebagainya

BACA JUGA: Goris Mustaqim, Nomine Asias Best Young Entrepreneur Award Asal Garut



Rata-rata audience tidak banyak tahu, itu alat musik apa" Sejarah, filosofi dan ritualnya seperti apa" Terbuat dari bahan apa" Berasal dari daerah mana" Mereka makin sadar, betapa Indonesia betul-betul kaya akan kebudayaan bermutu tinggiPerasaan itu tergambar dari antusiasme publik Melbourne itu mendengar satu per satu lagu dan suara alat musik yang dimainkan

Sampai-sampai, jeda antara satu lagu ke lagu berikutnya, dari show satu ke show berikutnya, begitu senyapSuara nafas pun nyaris tak terdengarTeathre di pusat kota yang didesain dengan tata cahaya dan suara yang nyaris jernih itu menjadi amat syahduTerbawa ritme musikalitas Memet yang amat khas Indonesia, dengan segala ragam etniknyaApalagi, personil Gangsadewa itu berputar, satu orang menguasai 4-5 alat musik yang berbeda

Kelompok asal Kota Gudeg Jogja itu membawakan 11 lagu, dan tampil dengan kostum hitam hitam, dibalut sentuhan batik berwarna cokelatMemet yang berabut gonderong dan berkacamata tampil cukup seriusMenggunakan pola nada diatonis dan pentatonic, dia ciptakan harmoni yang mengalir unsur-unsur tradisional dengan melodi yang nyaman di telinga. 

Di lagu terakhir, Memet cukup berani improvisasiDia mengajak siapa saja untuk ikut menabuh alat musik di atas stageSebuah nyali yang cukup berani, dalam momentum resmi dan audience yang seriusAnak-anak kecil ikut naik panggung dan ikut memainkan kentonganWaw, rupanya Memet sudah mengira, di akhir perform-nya itu tiga kendangnya tetap dominan

Semua senang, semua happy, termasuk orang-orang Australia yang ikut maju di stageTepuk tangan mereka amat panjang, sambil berteriak dan berdiriSeni betul-betul universalMereka yang tidak pernah mendengarkan alat-alat tradisional itu dimainkan dalam komposisi yang modern

Respons-nya cukup mempesonaPenonton yang harus membeli tiket 30-49 Dolar Australia pun memberikan apresiasi yang tinggi“Saya ingin musik tradisi itu digarap secara kekinianSelama ini banyak musik tradisi yang tampil luguApa adanyaKalau seperti itu tidak akan majuKita malah terus ketinggalan zaman,” jelas Memet, komposer dan pimpinan Gangsadewa

Nama Gangsadewa itu sendiri, kata Memet, punya dua artiPertama, grup ini biasa berlatih di rumahnya, di gang SadewaNama pandawa lima yang nomor limaTetapi juga bisa dipersepsikan sebagai Gansa Dewa“Musiknya dewa-dewa,” ceplos Memet yang menyebutnya hanya musik dan berkesenian, yang bisa menyapa siapa saja dengan cinta dan persahabatan

Selain Gangsadewa, tampil juga penari balet Jade Dewi Tyas Tunggal dan tarian-tarian tradisional dari Gita Nusantara DancerPenari itu membawakan kreasi baru, Lenggang Nyai dari Jakarta dan Giring-Giring dari Kalimantan TimurSedang Jade menampilkan kolaborasi yang terinspirasi dari gerakan-gerakan balet, teknik cinema, pendekatan arsitektur, teatrikal, alam, dengan tata suara, tata cahaya, bahasa gerak dan pengiring yang amat menjiwai

Jade pernah mendapat penghargaan “Australian Students Prize” di Newtown High School dalam Performing Arts tahun 1996

Jade adalah Master Koreografi di Victorian College of the Arts and Music di Melbourne UniversitySejak 1998, Jade banyak tampil dalam seni budaya yang beragam, di Houlihan & Dancers, The Body Cartography Project, Mirramu Dance Company, Chunky Move, Gong Tronic dan Victorian OperaKarena itu, dia cukup terkenal di Melbourne

Tiga penampilan itu berhasil memukau pecinta seni di Melbourne, Australia.  Satu poin yang amat penting dari perjalanan “Music & Dance from the Heart of Indonesia” yang dirancang oleh Dirjen Pemasaran, Departemen Kebudayaan & Pariwisata (Budpar) Republik Indonesia, Konsulat Jenderal Indonesia di Melboune dan The Art CenterKonsul Hadi Sapto di Melbourne  dan Deputy Directur of Promotion for Europe Jordi Paliama cukup puas dengan respons audience di The Arts Center(bersambung)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bukan Hebat PLN, tapi Karena Ditolong Tuhan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler