Menyelisik Proyek Sosial Kerja Sama LNG Tangguh dan Pemkab Teluk Bintuni

Oleh: Dr. Filep Wamafma, SH., CN., M.Hum, Anggota DPD RI Provinsi Papua Barat

Jumat, 18 September 2020 – 19:42 WIB
Senator dari Papua Barat, Dr. Filep Wamafma. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com - Peristiwa mengejutkan datang dari Bintuni. Perwakilan Komunitas Masyarakat Adat Marga Aisnak, Suku Moskona mengadukan LNG Tangguh dan Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni kepada Balai Penegak Hukum Kehutanan dan Lingkungan Hidup Maluku-Papua (seperti dilansir sebuah portal berita pada 17 September 2020).

Pengaduan ini dilakukan karena proyek rumah sosial kerja sama LNG Tangguh dan Pemerintah Daerah di Distrik Weriagar melanggar kesepakatan dalam pemenuhan hak masyarakat adat, yaitu ada kompensasi penggunaan kayu Merbau yang belum diberikan kepada masyarakat adat. Selain itu, ada dugaan proyek tersebut menggunakan kayu ilegal.

BACA JUGA: Raker dengan 5 Kementerian, Hasan Basri DPD RI: Hindari Konflik Kebijakan

Sebagaimana diketahui, PT Sorong Raya Konstruksi adalah perusahaan yang mengelola kayu di Weriagar untuk pekerjaan pembangunan rumah kayu sebanyak 39 unit di Kampung Weriagar Baru dan Tuanaikin. Perusahaan tersebut didanai oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni yang bekerja sama dengan perusahaan Minyak dan Gas LNG Tangguh. 

Dalam konteks hukum, persoalan ini pertama-tama didekati dari Hukum Kontrak. Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian atau kontrak merupakan perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

BACA JUGA: Filep Wamafma: Beri Kewenangan untuk Pemprov dan Rakyat Papua Mengatur Daerah Sendiri

Dari peristiwa ini kemudian muncul hubungan hukum untuk mencapai suatu prestasi, yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dari segi ini, kita tentu sepakat bahwa iktikad baik sebagaimana disebutkan dalam 1321-1328 KUHPerdata. Pastinya dimiliki oleh PT Sorong Raya Konstruksi dan masyarakat adat Marga Aisnak, Suku Moskona.

Apabila diketahui di kemudian hari bahwa PT Sorong Raya Konstruksi belum memenuhi kewajiban pembayaran kompensasi, maka benarlah bahwa masyarakat adat Marga Aisnak, Suku Moskona menuntut haknya. Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni sebagai pihak terkait seharusnya ikut menengahi permasalahan ini bahkan ikut bertanggung jawab. Bila terbukti benar tuntutan dari masyarakat adat Marga Aisnak, Suku Moskona, maka dapat dikatakan bahwa PT Sorong Raya Konstruksi melakukan wanprestasi. Beban tanggung jawab terhadap wanprestasi ini dapat dilihat pada peran para pihak termasuk Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni dalam perjanjian/kontrak tersebut.

BACA JUGA: Filep Wamafma DPD RI Usulkan Pembentukan Kementerian Khusus Urusan Papua

Di sisi lain, harus diakui bahwa Kontitusi menjunjung tinggi eksistensi masyarakat hukum adat. Dalam Pasal 18 B Konstitusi disebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang; negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Pasal ini secara linear ditegaskan kembali dalam Pasal 28 I ayat (3) Konstitusi yang menyebutkan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Apa yang tertuang dalam konstitusi tersebut sejatinya memosisikan masyarakat adat beserta hak dan kehidupannya sebagai hal sentral dalam pembangunan, termasuk dalam posisi masyarakat adat dalam kaitannya dengan hutan adat. Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.1/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2019 tentang Izin Industri Primer Hasil Hutan menyebutkan bahwa Hutan Adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2007 menyebutkan bahwa pemungutan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu adalah kegiatan untuk mengambil hasil hutan baik berupa kayu dan/atau bukan kayu dengan batasan waktu, luas dan/atau volume tertentu. Selanjjtnya, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu yang selanjutnya disingkat IUPHHK dan/atau izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang selanjutnya disebut IUPHHBK adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dan/atau bukan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan atau penebangan, pengayaan, pemeliharaan dan pemasaran.

Pasal 4 Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.1/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2019 tentang Izin Industri Primer Hasil Hutan menyebutkan bahwa bahan baku hasil hutan kayu dari sumber yang sah untuk IPHHK dapat berasal dari IUPHHK-HA, IUPHHK-HTI, IUPHHK- HTR, IUPHKm pada hutan produksi, HPHD pada hutan produksi, Pengelola Hutan, Hutan Hak/Hutan Rakyat hasil budidaya, Hutan Adat dengan fungsi produksi, perkebunan, dan/atau Impor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 43 ayat (1) huruf h menyebutkan bahwa pemegang izin tersebut harus melakukan kerjasama atau kemitraan dengan masyarakat untuk pengadaan bahan baku dari hasil pembangunan hutan tanaman, hutan desa, hutan kemasyarakatan, Hutan Hak/Hutan Rakyat, atau Hutan Adat dengan fungsi produksi.

Kerja sama ini tentu saja diikat dengan perjanjian. Celakanya, sebagaimana diadukan oleh masyarakat adat Marga Aisnak, Suku Moskona, kerjasama tersebut dicederai dengan wanprestasi dari PT Sorong Raya Konstruksi.

Tidak cukup sampai di situ, fakta hukum adanya IPHK dan telah memungut hasil hutan kayu sebanyak 1.000 meter kubik, menunjukkan adanya keanehan dan berpeluang ke arah illegal loging. Ada 3 (tiga) instrumen hukum untuk menjerat illegal loging semacam ini yaitu UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Inpres Nomor 4/2005 tentang Koordinasi antar Kementerian untuk memberantas illegal logging dan UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Dalam kaitan dengan hal di atas, saya sangat mendukung sikap masyarakat adat. Aspirasi mereka harus didengarkan sebagaimana posisi Konstitusi yang menjunjung keberadaan masyarakat adat.

Dalam koridor dukungan itu, penegakan hukum terhadap hal ini harus dilakukan. Aspirasi masyarakat harus dilanjutkan oleh penegak hukum. Temuan-temuan masyarakat adat menjadi kunci untuk melanjutkannya ke tingkat penyelidikan dan penyidikan. Jika diperlukan, dan menurut saya sangat perlu, Kementerian terkait dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan diharapkan segera merespons hal ini, dan membentuk tim investigasi untuk kasus tersebut.

Dalam narasi yang sama, apabila tidak ada kejelasan penyelesaiannya maka hal ini akan didorong ke DPD RI dan For Papua MPR RI untuk dibahas lebih lanjut.***


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler