Menyimak 'Kejailan' Butet Kartaredjasa Melalui Lukisan Cat Air

Senin, 25 November 2019 – 06:36 WIB
Menko Polhukam Moh Mahfud MD dan Butet Kartaredjasa pada pembukaan pameran lukisan Lanskap Luar Dalam di Tugu Kunstkring Paleis, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (21/11) malam. Foto: ricardo/JPNN.Com

jpnn.com - Seniman kondang Butet Kartaredjasa tengah memamerkan puluhan lukisan karyanya di Tugu Kunstkring Paleis, Menteng, Jakarta Pusat. Pameran sebagai penanda usia Butet yang telah genap 58 tahun itu berlangsung selama sebulan mulai 21 November 2019.

Ekshibisi bertitel Landskap Luar Dalam itu tak hanya menampilkan karya-karya Butet. Pameran yang dikuratori Suwarno Wisetrotomo itu juga menampilkan karya-karya Widiyatno.

BACA JUGA: Selamat Ultah dan Berpameran, Mas Butet!

Butet yang dikenal sebagai seniman teater dan kampiun monolog juga piawai melukis. Dalam katalog pameran Landskap Luar Dalam, setidaknya ada 31 lukisan bertarikh 2019 karya Butet.

Bagi Butet, melukis berarti menghindarkan waktu luangnya terbuang percuma. Putra maestro tari Bagong Kussudiardja itu punya prinsip tak mau menganggur sekalipun sedang di rumah.

BACA JUGA: Djaduk Butet

“Harus ada produktivitas. Kalau saya tidak main teater, di rumah saya harus membuat sesuatu meskipun satu sketsa atau lukisan. Jadi waktu saya itu harus produktif. Harus setiap saat menyisakan jejak dalam hidup saya,” tutur Butet saat pembukaan pameran lukisan Landskap Luar Dalam pada Kamis lalu (21/11).

BACA JUGA: Kenangan Butet Kartaredjasa tentang Sang Adik Djaduk Ferianto

Melukis juga menjadi cara bagi Butet merespons hal-hal yang terjadi di masyarakat, sekaligus menyalurkan kejailannya. Tokoh yang dikenal jenaka itu memang sering menyentil pihak lain dengan candanya yang khas.

“Ya kalau saya sih cuma jail-jail saja,” katanya.

Seniman kelahiran 21 November 1961 itu lantas mencontohkan karyanya yang berjudul Jeans Nyasar. Butet membuat lukisan itu bertuliskan teks JEANS itu untuk merespons polemik setelah seorang dai kondang menyebut salib sebagai tempat jin kafir.

“Saya bikin salib dari kata jeans, itu saya merespons situasi dengan becanda,” tuturnya.

Setidaknya ada tiga lukisan lain yang masih terkait soal itu. Yakni Bukan Jin, Disangka Jin, serta Menyesatkan Aliran.

Ada juga lukisan bertitel Perempuan Perkasa. Melalui lukisan itu Butet menggambar seorang perempuan telanjang berada di punggung banteng.

“Kalau ada perempuan telanjang naik binatang menyerupai banteng, ya itu perempuan perkasa,” katanya.

Meski Butet besar sebagai seniman panggung, latar belakang pendidikan formalnya justru di bidang seni rupa. Butet pernah menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Yogyakarta yang belakangan lebih kondang dengan nama Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR).

Di SMSR pula Butet bersahabat dengan Suwarno dan Widiyatno. Trio itu kembali melanjutkan pendidikan di lembaga yang sama, yakni Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) ASRI pada 1982.

Di sekolah tinggi yang belakangan menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) itu Butet bersama Widiyatno dan Suwarno masuk fakultas seni rupa. Namun, Butet dan Widiyatno meninggalkan ISI dengan status drop out, sedangkan Suwarno bertahan hingga menjadi dosen di almamaternya.

Butet mengaku tak pernah mencari inspirasi khusus untuk melukis. Semua lukisannya adalah respons spontan.

“Saya tidak pernah mencari inspirasi. Saya melukis mengandalkan improvisasi, jadi spontan saja. Ada material, ada cat, ada kertas, jadi saya menguji keterampilan saya. Bentuknya apa saya enggak tahu dan tiba-tiba menemukan ide sambil jalan,” katanya.

Namun, melukis juga punya manfaat lain bagi kakak kandung (Alm) Djaduk Ferianto itu. Melukis menjadi terapi kesehatan bagi Butet.

“Saya itu kan sudah diabetes, jantung, secara psikis saya punya beban. Tidak boleh down, secara psikis harus happy, harus menemukan kesenangan, kegembiraan. Saya harus happy anytime,” katanya.

Sementara Suwarno dalam pengantar katalog pameran Lanskap Luar Dalam menuturkan, Butet melalui lukisan-lukisannya merespons dan mengolah tema-tema sensitif terkait agama, politik dan budaya. Namun, tutur Suwarno mendedahkan, koleganya itu memiliki cara sendiri untuk mencairkan tema-tema sensitif tersebut.

“Kadang beberapa karyanya seperti meledek ke segala penjuru. Kultur guyonan sesekali menyembul pada sejumlah karyanya,” tulis Suwarno.(tan/ara/jpnn)


Redaktur : Antoni
Reporter : Antoni, Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler