Wae Rebo sudah bertahan dari gempuran zaman lebih dari 900 tahun. Desa mini itu serasa tetap tinggal di masa lampau. "Lorong waktu" yang menjadi penghubung dengan masa kini adalah jalur setapak yang mendaki sepanjang sembilan kilometer. Rute itu hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
DOAN WIDHIANDONO, Ruteng
PERJALANAN menuju Wae Rebo diawali dari SD Denge, tempat mengajar Blasius Monta, warga Wae Rebo yang tinggal di Denge. Sekolah itu hanya berjarak sekitar 200 meter dari rumah Blasius.
"Itu arah ke Wae Rebo," ujar Blasius. Tangannya menunjuk gugusan gunung di utara Denge yang tak begitu jelas lantaran tertutup kabut.
"Tour de Wae Rebo" dibagi empat "etape". Yang pertama, Denge"Wae Lomba. Etape kedua, Wae Lomba"Posoroko. Berikutnya, jalur Posoroko"Nampe Bakok. Sedangkan, etape pemungkas dari Nampe Bakok ke Wae Rebo.
"Nanti di pos-pos itu bisa beristirahat sebentar. Tarik napas, lemaskan kaki," kata Blasius, lantas tersenyum. Senyum itu masih membangkitkan semangat dan gairah perjalanan.
Tepat pukul 14.12 Waktu Indonesia Timur (WIT), saya memulai perjalanan menempuh "lorong waktu" menuju masa lalu, ke Wae Rebo. Saya didampingi Romanus Monda, warga Wae Rebo yang juga punya rumah di Kombo, kampung di bawah Denge. Roman "sapaan Romanus Monda" bertubuh ramping. Tingginya sekitar 160 sentimeter. Kulitnya sawo matang.
Roman memang guide sekaligus porter berpengalaman. Dia kerap mengantar wisatawan naik-turun Wae Rebo. Tak sekadar mengantar, pria kelahiran Agustus 1975 itu kerap membawakan barang bawaan para turis. "Ada tas-tas besar, ada kaki-kaki kamera (maksudnya tripod, Red)," ujar Roman.
"Selamat jalan. Nanti kalau tidak kuat jangan malu turun lagi!" seru Blasius Monta dari depan rumahnya. Kali ini kalimat itu mulai memunculkan secuil rasa grogi....
***
Etape pertama "Tour de Wae Rebo" diawali dengan perjalanan memintas ladang-ladang penduduk. Kami berjalan di antara tanaman kopi dan kakao. Jalan yang sedikit mendaki itu pendek saja. Tak sampai 15 menit sudah habis.
Selanjutnya adalah trekking meniti semen saluran air. Jalannya juga menanjak. Tapi, tak begitu menyiksa. Tak seberapa lama, jalan membelok ke kiri, melewati pohon enau (aren) yang sudah tumbang. Dan di situlah perjalanan khas etape pertama dimulai.
Jalur menuju Wae Lomba seperti perjalanan menaiki anak tangga alami yang terbuat dari batu-batu besar. Sebagian anak tangga itu tinggi sekali. Lebih tinggi ketimbang dengkul. Jalannya naik dan berkelok-kelok, sesekali melintasi sungai kecil berair dingin.
"Normalnya", perjalanan ke Wae Lomba, pos pertama, bisa ditempuh sekitar 45 menit. Tapi, bagi saya, jalur itu memang jauh daripada normal. Karena itu, hampir setiap seratusan meter saya minta mandek. Mendinginkan "mesin". Akibatnya, sampai di Wae Lomba, tanah lapang berukuran tak sampai seperempat lapangan basket, perjalanan sudah memakan waktu 1,5 jam.
"Tenang saja. Jalanan ke Posoroko lebih enak. Bukan batu. Hanya tanah saja," ungkap Roman, kawan perjalanan saya.
Benar juga. Jalan etape kedua lebih mulus. Tak ada lagi batu-batu besar yang harus dilompati. Yang ada cuma tanah yang mendaki, mendaki, dan terus mendaki.
Jalur itu memang tak curam-curam amat. Kemiringan yang paling curam hanya 30-an derajat. Namun, jalur naik itu seolah tak pernah habis. Dibatasi tebing di satu sisi dan jurang di sisi lain, jalur tersebut terasa sangat berat.
"Kita kembali ke bawah, kah?" kata Roman. Saya menggeleng, tak menjawab untuk menghemat napas.
Perjalanan kami pada Jumat (7/9) itu tak benar-benar sendiri. Kadang kami berpapasan dengan warga Wae Rebo yang sedang naik ke kampung atau turun ke Denge. Langkah mereka tampak ringan dan gesit. Padahal, mereka tak berjalan dengan tangan melenggang. Selalu ada saja bungkusan besar atau tas yang mereka bawa. Ada juga yang sambil menggendong anak atau memikul balok-balok besar.
Ketika berpapasan, warga Wae Rebo itu selalu berhenti untuk menyapa. "Selamat, Bapak," kata mereka sembari mengulurkan tangan. Selalu begitu. "Itu seperti selamat siang atau selamat pagi, begitu," ujar Roman.
Etape yang terasa menyiksa ini akhirnya juga habis dalam satu jam lebih. Posoroko, pos kedua, adalah jalan lebar di puncak tebing. Jalan itu sudah diberi pagar besi. Persis dengan anjungan pandang. Nun di depan tampak Desa Denge di arah selatan. Kalau cuaca sangat cerah, kadang terlihat laut yang berjarak sekitar 6 kilometer dari Denge.
Meski lebih pendek, jalan menuju Nampe Bakok, etape ketiga, tak kalah menyiksa. Jalan juga masih mendaki. Di sini kami diberi "bonus" harus melewati jalan yang nyaris habis digerus longsor. Lebar jalannya tak lebih lebar ketimbang pematang sawah. "Ada longsor besar karena hujan terus bulan tiga kemarin (Maret, Red)," jelas Roman.
Tak sampai setengah jam, etape ketiga itu tamat. Nampe Bakok, pos pemberhentian etape tersebut, juga berupa tanah lebar di tekukan jalan. Hari itu kami beruntung, kabut sedang menyingkir. Dengan begitu, terpaparlah pemandangan yang membuat kegembiraan meluap.
Gugusan mbaru niang sudah tampak di kejauhan. Rumah-rumah kerucut itu seolah melambai mengajak kami untuk segera sampai. Maka, tanpa beristirahat, kami pun kembali berjalan.
Etape keempat, Nampe Bakok"Wae Rebo, adalah jalur menurun. Kami pun melewatinya setengah berlari. Perjalanan tinggal sebentar lagi."
***
Pukul 17.58, hampir empat jam sejak start di Denge, kami melangkah memasuki Wae Rebo. Kami melintasi tengah-tengah desa kecil itu menuju mbaru tembong, rumah utama di Wae Rebo. Mbaru tembong adalah rumah paling besar. Tingginya 15 meter dengan diameter kerucutnya juga 15 meter.
Ngando, tiang utama mbaru tembong, menjulang ke atas berhias ukiran kayu mirip tanduk kerbau di puncaknya. Itu salah satu yang membedakan mbaru tembong dengan mbaru gena, rumah-rumah "biasa" (bukan rumah utama), di kanan kirinya.
Para tamu yang memasuki Wae Rebo memang harus masuk dulu ke mbaru tembong. Mereka mendapat sambutan secara adat di rumah utama itu. Untuk upacara penyambutan tersebut, para tamu wajib menyiapkan uang adat, semacam uang permisi kepada para leluhur Wae Rebo.
Di tengah suasana yang mulai remang-remang, saya masuk ke rumah tersebut. Suasana di dalam gelap. Hanya terlihat siluet orang duduk melingkar. Api dari pelita kecil membuat bayangan terus bergerak halus.
Adalah Vitalis Haman, generasi ke-17 Wae Rebo, yang menjadi pendamping saya saat upacara penyambutan itu. Dengan bahasa Manggarai, dia mengutarakan siapa saya, maksud kedatangan ke Wae Rebo, hingga harapan agar saya dilindungi di desa tersebut. "Rantang babang lehe empo Wae Rebo," ungkap Vitalis. Artinya, para leluhur jangan sampai mempertanyakan siapa tamu ini.
Saya cukup beruntung, empat tetua adat yang rata-rata dari generasi ke-16 dan ke-17 menyambut langsung. Yang tertua Isidorus Ingkul, 84. Tetua adat yang lain adalah Aleks Ngadus, Rofinus Nompor, dan Biatus Baku.
Setelah ungkapan kulonuwun dari Vitalis, Isidorus Ingkul langsung berseru-seru. Beberapa kali nama saya disebut, asal saya, dan Kota Surabaya juga diseru-serukan. Setelah itu, dari dalam keremangan, muncul sesosok orang membawa ayam putih. Ayam tersebut langsung dipangku satu per satu oleh para tetua adat. Upacara selesai.
Aleks Ngadus, salah seorang sesepuh, menyalami saya. "Anak sudah bukan orang mana-mana. Anak sudah menjadi anak kandung Wae Rebo. Para leluhur juga sudah tahu," ujar Aleks sambil menjabat tangan saya.
Kata dia, setiap anak yang datang memang harus dipangku oleh para orang tua. Tapi, karena saya sudah besar, simbolisasi memangku anak diganti ayam putih.
Beberapa saat setelah upacara, lampu-lampu rumah menyala. Jajaran lampu putih membuat rumah dengan aroma pembakaran itu menjadi benderang. Terlihat sebagian warga duduk melingkar. Di tengah-tengah rumah terlihat dapur kayu bakar yang terus-menerus mengeluarkan asap.
Saya lalu bertanya kepada Vitalis, apakah upacara penerimaan memang harus dilakukan dalam kegelapan dan hanya menggunakan penerangan lampu minyak. "Tidak. Itu tadi gelap karena penjaga generator sedang turun ke kebun. Jangan marah, ya," kata Vitalis.
***
"Silakan Anak tidur di sini. Anak sudah orang Wae Rebo. Dinikmati saja," kata Aleks Nadus.
Malam itu saya tidur di mbaru niang yang berada di ujung paling selatan. Rumah ini memang dikhususkan untuk tamu atau wisatawan. Bangunannya lebih baru setelah direnovasi pada 2011.
Saya tidur beralas tikar pandan. Bantalnya juga terbuat dari anyaman pandan dipadu motif dari kulit bambu. Isi bantal itu berupa kapuk dari pohon randu yang banyak saya temui di perjalanan menuju Wae Rebo.
Malam itu saya berupaya cepat memejamkan mata, menunggu pagi menyingkap keajaiban arsitektur dan budaya Wae Rebo yang baru saja menerima penghargaan kelas dunia. (bersambung/c4/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Keliling Milan, Liput Balap Formula 1 dan Kunjungi Artis Sepeda (3-Habis)
Redaktur : Tim Redaksi