Mbaru niang di Wae Rebo memang layak mendapat penghargaan. Kampung mini di Manggarai, NTT, tersebut tak hanya berhasil melestarikan rumah-rumah kerucut yang tak ada duanya di muka bumi. Tapi, teknik pembangunan dan tata cara arsitektur tradisional mereka juga ikut lestari.
DOAN WIDHIANDONO, Ruteng
PAGI berjalan lambat di Wae Rebo, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai, NTT. Pukul 06.00, Sabtu (8/9), langit sudah benderang. Tapi, warga Wae Rebo masih terlihat begitu santai. Sebagian orang duduk meringkuk di depan jajaran mbaru niang, berkemul sarung tenun khas Manggarai. Anjing-anjing masih asyik bergelung di sisa api unggun di tengah-tengah desa.
Pada jam itu, kabut sudah lewat. Tapi, udara masih terasa cukup dingin. Matahari harus mendaki jauh di atas cakrawala, melewati punggung gunung-gunung, sebelum akhirnya menjatuhkan sinarnya ke tengah-tengah Wae Rebo.
Saya tunggu sang surya tiba dari atas bukit yang berada di sebelah barat kampung tersebut. Bukit yang juga berfungsi sebagai kuburan warga Wae Rebo itu tak begitu tinggi. Kaki sampai puncaknya didaki tak lebih dari lima menit. Seperti mendaki tangga setinggi tiga lantai.
Sekitar pukul 07.00 berkas sinar pertama matahari menyapa mbaru tembong, rumah utama, yang terletak di ujung paling timur. Tak seberapa lama aktivitas warga mulai terasa. Hari itu sebagian penduduk menjemur kopi robusta yang mereka tanam sendiri di kebun-kebun di sekitar desa. Biji kopi yang masih basah itu mereka gelar pada lembaran plastik besar di areal tengah desa berukuran sekitar 50 x 50 meter persegi.
"Nanti kopi ini kami jual ke bawah. Ke Denge atau ke Kombo," kata Isidorus Ingkul, salah seorang tetua adat Wae Rebo.
Isidorus adalah generasi ke-16 di Wae Rebo. "Satu generasi kira-kira 60 tahun," katanya. Dengan perhitungan itu, Wae Rebo sudah didiami orang selama 1.080 tahun alias 10 abad lebih.
Menurut cerita Isidorus, yang pertama mendiami Wae Rebo bernama Maro. Maro memimpin sekumpulan orang dari kawasan Modo, Lembor. Kini kawasan itu masuk Kabupaten Manggarai Barat. Lembor, kawasan lumbung padi di daerah tersebut, memang cukup dekat dari Wae Rebo. "Hanya potong (jalan memintas, Red) gunung," tambah Vitalis Haman, warga yang lain.
Tapi, jalan pintas itu sangat sulit. Naik gunung dengan jalur curam, lalu turun lagi dengan kemiringan yang tak kalah curam.
Tak ada yang benar-benar tahu mengapa Maro meninggalkan Modo. Yang terang, Maro lantas beranak pinak di Wae Rebo yang tersembunyi diapit gunung-gunung. Dia mewariskan tata kehidupan yang unik di Wae Rebo. Maro dan keturunannya juga mewariskan teknik pembangunan mbaru niang yang akhirnya diganjar penghargaan oleh UNESCO.
***
Matahari pagi itu memang akhirnya menyingkapkan keindahan Wae Rebo. Jajaran mbaru niang yang ditata membentuk setengah lingkaran menciptakan atmosfer yang sangat elok, berpadu dengan matahari yang berkas sinarnya membentuk garis-garis putih menembus kabut.
Mbaru niang (rumah kerucut) Wae Rebo berjumlah tujuh. Yang di tengah, di ujung paling timur, adalah mbaru tembong atau rumah utama. Mbaru gena alias rumah biasa berada di samping-sampingnya. Tiga di kiri dan tiga di kanan. Kalau rumah utama bertinggi 15 meter dengan diameter 15 meter, rumah yang lain setinggi 11 meter dengan diameter juga 11 meter.
Rumah-rumah itu berbaris menghadap sompang (altar) setinggi sekitar 1 meter. Sompang adalah gundukan tanah berbentuk bundar berdinding batu. Di mezbah itulah warga Wae Rebo menyelenggarakan upacara-upacara adat dan aneka persembahan kepada Tuhan dan leluhur.
Mbaru niang sejatinya nyaris punah. Pada 2008, hanya tersisa empat rumah. Yaitu, mbaru tembong, satu rumah di sisi kiri, dan dua rumah di sisi kanan. Tiga lainnya sudah lenyap digerus umur. Rumah yang tersisa pun seolah menunggu rubuh.
Sejumlah kalangan swasta yang peduli kepada arsitektur dan budaya lokal lalu bergerak. Yang menggagas pemugaran adalah Yayasan Rumah Asuh yang dimotori Yori Antar, arsitek di Jakarta. Yori mengumpulkan donatur untuk membangun kembali tiga rumah yang sudah lenyap dan memperbaiki rumah yang lain.
Maklum, dana untuk membangun satu mbaru niang tidak murah. "Pada 1997, pemda merenovasi mbaru tembong. Biayanya Rp 30 juta," kata Blasius Monta, warga Wae Rebo yang juga guru SD Denge.
Saat pembangunan kembali dilakukan pada 2011, biaya untuk satu rumah mencapai Rp 300-an juta. Tapi, dana itu akhirnya bisa ditutup para donatur yang peduli. Blasius mencatat, rumah-rumah itu didanai Yayasan Tirto Utomo, pengusaha Arifin Panigoro, dan Laksamana Sukardi. Yori Antar yang arsitek bertugas memimpin pembangunan sekaligus mendokumentasikan proyek menghidupkan kembali budaya arsitektur yang nyaris lenyap tersebut.
Maka, warga Wae Rebo pun rawe-rawe rantas ikut membangun rumah adat mereka. Warga benar-benar menggunakan tata tradisional sebagaimana nenek moyang mereka membangun mbaru niang ratusan tahun silam. "Membangunnya hanya satu bulan. Tapi, kumpul-kumpul bahan itu yang sampai enam bulan," ujar Blasius.
Mbaru niang punya satu tiang utama yang menjulang tinggi hingga menembus atap. Tiang dari kayu Worok itu disebut ngando. Sedangkan rangka topi kerucutnya dibuat dari bambu. Tak ada secuil pun paku yang dipakai. Untuk menyatukan bambu dan kayu, warga menggunakan tali dari rotan.
Rangka lantas ditutup anyaman ilalang dan ijuk, serabut hitam yang ada di batang pohon enau. Di bagian depan rumah, rangka kerucut diangkat sedikit, membentuk sebuah bibir sebagai pintu masuk.
Saat membangun itu, warga benar-benar mempraktikkan upacara yang sudah mereka pelajari dari para leluhur. Misalnya, saat mengangkat kayu untuk ngando atau tiang. Kayu tak boleh dipikul di pundak, tapi diangkat di samping badan. Sembari mengangkat kayu dari hutan menuju desa, warga harus bernyanyi, "Teti etan, teti etan, ne empo teti etan (Angkat ke atas, angkat ke atas wahai leluhur, angkat ke atas, Red). Teti etan, teti etan, pande geal (Angkat ke atas, angkat ke atas, bikin ringan, Red)."
Tipa-tiap mbaru niang dibangun lima tingkat. Yang paling dasar bernama lutur. Itu lantai untuk ditinggali. Yang tinggal di mbaru tembong ada delapan keluarga. Mereka adalah wakil dari delapan keturunan utama Maro. Sedangkan, rumah-rumah yang lain ditinggali enam keluarga. Mereka punya kamar berukuran sekitar 2 x 2 meter persegi di lantai pertama. Kamar-kamar itu menempel "dinding". Masing-masing tanpa pintu, hanya ditutup kelambu. Tiap keluarga berbeda warna kelambunya.
Lantai 2 hingga lantai 5 bernama lobo mehe, lentar, lemparae, dan hekang kode. Masing-masing untuk menyimpan hasil panen dan benih tanaman. Lalu, di tempat paling pucuk ada ruang bernama kilikiang untuk menaruh langkar atau peranti sesaji. Untuk menghubungkan ruang-ruang itu, ada bambu yang diikat pada tiang utama. Bambu tersebut diberi takik-takik untuk memanjat.
Salah satu ciri mbaru niang adalah jendela tradisional yang disebut paratongang. Jendela itu unik. Tekniknya hanya mendorong atap dari dalam. Dengan begitu, atap itu mencuat membentuk tingkap untuk ventilasi.
Keunikan lain adalah dapur komunal yang terletak di lutur atau lantai 1. Dapur itu terletak di tengah-tengah rumah. Bentuknya perapian kayu untuk peranti warga memasak. Di antara tujuh rumah tersebut, hanya satu yang tak punya dapur di tengah rumah. Yakni, rumah paling ujung di kiri mbaru tembong.
Rumah itu memang tak lagi difungsikan full untuk tempat tinggal warga. Rumah itu justru kerap ditempati wisatawan yang menginap. "Biar tidak bau asap, dapur dipisah," kata Vitalis Haman, warga senior.
Rumah turis juga berbentuk unik. Sebab, di belakangnya ada dua mbaru niang mini. Itu adalah dapur dan toilet (cukup bersih dengan lantai keramik).
Menurut Vitalis, jumlah mbaru niang di Wae Rebo memang tak boleh lebih dari tujuh. "Sebab, tujuh itu melambangkan tujuh kekuatan yang menjaga desa ini," katanya.
***
Kini Wae Rebo sedang menggeliat sebagai tujuan wisata. Sejumlah hotel dan biro wisata di Ruteng hingga Labuan Bajo di ujung barat Pulau Flores memamerkan foto-foto Wae Rebo.
Warga Wae Rebo juga tak tinggal diam. Mereka punya Lembaga Pariwisata Waerebo (LPW) untuk menata administrasi pariwisata. Berbagai servis kini punya tarif. Porter, misalnya, dibanderol Rp 150 ribuhingga Rp 200 ribu.
Tamu menginap di Wae Rebo harus membayar Rp 225 ribu per malam (sudah termasuk tiga kali makan). Yang tidak menginap cukup mengeluarkan Rp 100 ribu. Kalau ingin menyaksikan kesenian mbata, semacam pantun nasihat yang dilagukan saat malam, tamu juga harus membayar Rp 200 ribu per penampilan.
"Ini untuk kas LPW. Juga untuk menjaga kelestarian rumah-rumah di sini," ungkap Vitalis.
Warga berupaya semaksimal mungkin mempertahankan keaslian rumah dan budaya mereka. Meski sudah memakai listrik dari generator, televisi masih dilarang. "Tapi, radio boleh," kata Romanus Monda, warga Wae Rebo yang menyertai saya dalam perjalanan pergi-pulang Wae Rebo"Denge.
Dalam perjalanan pulang menuju Denge, perjalanan yang jauh lebih menyenangkan ketimbang saat berangkat. Roman "sapaan Romanus" banyak bercerita tentang keunikan warga Wae Rebo. Kata dia, Wae Rebo adalah milik seluruh warga keturunan Wae Rebo. Mereka boleh tinggal di mbaru niang.
Namun, karena keturunan itu semakin banyak, warga Wae Rebo banyak berdiam di Denge atau Kombo di bawah gunung. Karena itu, yang tinggal di Wae Rebo kebanyakan warga sepuh dan anak-anak yang belum bersekolah.
"Yang bersekolah turun (ke Denge dan Kombo, Red). Kalau Senin, mereka berangkat dari Wae Rebo. Mereka baru pulang ke Wae Rebo hari Sabtu," ungkap Roman.
Anak-anak yang bersekolah itu, bahkan yang kelas I, tak boleh berjalan dengan tangan kosong. Kalau turun, mereka harus membawa berkilo-kilo kopi dan jeruk untuk dijual di sekitar sekolah. Sedangkan, pekan depannya, saat pulang ke Wae Rebo, anak-anak harus membawa beras, gula, garam, dan bahan-bahan lain yang tak ada di gunung. "Rata-rata tiga kilo," katanya.
Saat pulang itu Roman juga memamerkan keahliannya berbahasa Inggris. Itu dia dapatkan berkat guru dari Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Ruteng yang rutin ke Wae Rebo untuk mengajar bahasa Inggris. "Sebulan sekali kami belajar. Untuk bisa sambut turis asing," kata Roman.
"Come in, please. Artinya, silakan masuk. Kalau silakan duduk, itu take me please!" ujarnya, yakin.
Alih-alih tertawa, saya memilih membetulkan ucapan Roman bahwa silakan duduk itu sit down, please. Atau, take a sit, please. "Kalau take me, please, itu artinya silakan bawa saya. Itu Anda ucapkan kalau ada turis cantik saja," gurau saya. Kali ini Roman menepuk jidatnya sambil meledakkan tawa.
Sabtu siang itu (8/9) saya tinggalkan Wae Rebo apa adanya seperti masa lalunya. Saya hanya membawa sejumput bahan tulisan dan puluhan frame foto. Saya hanya tinggalkan secuil kenangan di desa yang memang layak mendapat penghargaan itu. Sedangkan, Roman, kawan saya, membawa sejumlah kosa kata bahasa Inggris baru yang terus dia hafalkan sepanjang perjalanan menuju Denge".(*/c4/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tikam Maling, Yusuf Rizaldi Pernah Jadi Pahlawan Desa
Redaktur : Tim Redaksi