Menyoal RUU Kesehatan, Pakar Hukum Ingatkan Jangan Sembarangan Gunakan Omnibus

Selasa, 28 Maret 2023 – 19:18 WIB
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Udayana, Jimmy Z. Usfunan mengkritisi draft RUU Kesehatan. Foto/Ilustasi: BPJS Kesehatan.

jpnn.com, JAKARTA - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Maria Farida Indrati menyoroti tren saat ini dalam pembentukan peraturan perundang-undangan menggunakan metode omnibus law.

Misalnya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang sekarang diganti Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

BACA JUGA: Tak Dilibatkan dalam Omnibus Kesehatan, Uni Irma Meradang, Ingatkan Tahun Politik

Beleid itu berdampak pada berbagai ketentuan dalam 78 UU yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda.

UU Cipta Kerja tidak mengubah seluruh UU terdampak, tapi hanya mengubah sebagian kecil atau beberapa pasal dalam undang-undang tertentu saja.

BACA JUGA: BPJS Watch Bertemu Menkes, Bahas RUU Kesehatan, Ada Titik Terang

Persoalannya, jika undang-undang terdampak dalam UU Cipta Kerja itu diubah, apakah pasal yang ada dalam UU Cipta Kerja juga diubah?

Prof Maria sejak awal mengkritik metode omnibus law yang digunakan untuk UU Cipta Kerja.

Menurutnya, metode omnibus law hanya bisa digunakan untuk UU yang memiliki tema atau latar belakang isu yang sama.

Persoalan ini hampir serupa dengan berbagai peraturan Belanda yang masih digunakan di Indonesia.

Padahal beberapa undang-undang telah diterbitkan, tapi peraturan lamanya tidak dicabut.

Sekarang pemerintah dan DPR juga menggunakan metode omnibus untuk UU lainnya, misalnya RUU Kesehatan.

Materi yang diatur dalam RUU Kesehatan juga mirip UU Cipta Kerja, yakni ada UU terdampak tidak memiliki tema yang sama.

“Pembentukan undang-undang menggunakan omnibus harus benar-benar dikaji. Jangan sampai undang-undang terdampak menjadi berantakan,” kata Prof Maria mengingatkan.

Prof Maria mengingatkan agar tidak memaksakan beberapa undang-undang yang berbeda tema untuk diubah substansinya melalui mekanisme omnibus law.

Membuat undang-undang juga tidak perlu dipaksakan jika memang tidak dibutuhkan.

Senada disampakan Dosen FH UI Fitriani Ahlan Sjarif yang menyebut obesitas regulasi muncul lantaran banyak lembaga yang memilki kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan.

Menurutnya, guna meminimalkan regulasi yang berlebihan seharusnya ditentukan mana lembaga yang memiliki kewenangan menerbitkan aturan.

Fitriani menilai omnibus law yang digunakan untuk membentuk UU Cipta Kerja bukan contoh yang baik untuk teknik pembentukan perundang-undangan.

Undang-undang yang masuk dalam omnibus UU Cipta kerja sangat beragam sama seperti omnibus RUU Kesehatan dimana UU yang masuk tak hanya sektor Kesehatan, tapi juga jaminan sosial.

“Ketimbang menggunakan metode omnibus lebih baik pembentukan UU menggunakan cara yang sederhana, sehingga hasilnya bisa mudah dibaca masyarakat umum,” pungkasnya.

Metode Omnibus Law Bukan Berarti Bebas

Penggunaan metode omnibus law bukan berarti bebas memasukan berbagai macam Undang-Undang (UU) dalam satu UU.

Namun, UU yang masuk dalam satu omnibus harus memiliki tema dan latar belakang yang sama.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Prof Bayu Dwi Anggono menilai pemerintah latah dalam menggunakan metode omnibus law.

Padahal omnibus law yang digunakan untuk menerbitkan sejumlah UU tergolong bermasalah.

Metode omnibus law seharusnya digunakan hanya untuk UU yang memiliki tema dan latarbelakang yang sama.

Namun, UU 11/2020 memuat 78 UU yang masing-masing memiliki latar belakang dan tema yang berbeda.

Sebab, bukannya mengevaluasi dan membenahi metode omnibus law yang digunakan, pemerintah malah berencana menerbitkan RUU Kesehatan yang isinya memuat UU yang saling berbeda tema dan latarbelakang.

Misalnya, RUU Kesehatan tak hanya mengurusi terkait layanan bidang kesehatan tapi juga menyasar jaminan sosial dan kelembagaan BPJS baik BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.

“Omnibus itu bukan berarti bebas (memasukan berbagai macam undang-undang dalam satu undang-undang). Latah omnibus ini kalau tidak ditata dengan baik akan menimbulkan masalah ke depan,” ujarnya dalam seminar bertema 'Mewujudkan Ketertiban Peraturan Perundang-undangan Dalam Rangka Pembangunan Hukum Berkelanjutan', Kamis (16/3).

Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya Indah Dwi Qurbani juga mengingatkan UU adalah landasan hukum dari kebijakan yang akan diterbitkan pemerintah.

Oleh karena itu pembentukan UU harus melalui prosedur yang jelas, sebagaimana diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Pembentukan UU mulai dari penyusunan, pembahasan, sampai pengundangan, menurut Indah, tak bisa lepas dari kekuasaan.

Walau prosedurnya RUU yang akan dibahas DPR dan pemerintah terlebih dulu masuk program legislasi nasional (Prolegnas), tapi pada praktiknya tak selalu begitu. RUU yang tidak masuk Prolegnas bisa dilakukan pembahasan intensif oleh pemerintah dan DPR misalnya revisi UU Minerba.

Para pakar hukum sepakat bahwa penggunaan metode omnibus law secara tidak hati-hati bisa membuat UU menjadi berantakan.

Metode omnibus law yang digunakan untuk membentuk UU Cipta Kerja bukan contoh yang baik untuk teknik pembentukan perundang-undangan.

Terpisah, Anggota Komisi IX DPR Irma Suryani Chaniago mengatakan pihaknya menyambut baik penugasan terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan.

Penugasan itu tertera dalam surat Pimpinan DPR dengan nomor T/160/PW01/02/2023 tertanggal 14 Februari 2023 yang ditandatangani Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad.

Menurutnya, fungsi Baleg adalah melakukan sinkronisasi terhadap hasil bahasan Komisi IX dengan Kementrian Kesehatan sebagai perwakilan parlemen dan pemerintah.

Jadi, Baleg tak langsung membahas RUU tersebut seperti yang dilakukan saat pembahasan RUU Cipta Kerja (Ciptaker).

"Posisi ini sudah benar, agar parlemen tidak mengulangi kembali kesalahan yang sama sebagaimana RUU Ciptaker yang justru dibahas langsung di Baleg, tidak melalui Komisi terkait," kata Irma.

Dia memastikan, Komisi IX akan segera melaksanakan pembahasan RUU Kesehatan, agar dapat segera dirampungkan dan disampaikan ke Baleg untuk dilakukan sinkronisasi.

Hal ini sekaligus menepis adanya dugaan kongkalingkong antara pemerintah dan Baleg. (mrk/jpnn)


Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler