jpnn.com, JAKARTA - Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyatakan telah bertemu dengan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin pada Kamis (16/3), bersama Pengamat Ekonomi Faisal Basri dan Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio.
Pada pertemuan itu, Timbole mengatakan Menkes Budi Gunadi setuju jika pasal 425 pada RUU Kesehatan mengenai BPJS bertanggung jawab kepada Presiden melalui menteri dihapuskan.
BACA JUGA: PMI Asal Cilacap Meninggal di Korea, BPJS Ketenagakerjaan Gercep Serahkan Hak Ahli Waris
“Saya bilang kepada Pak Menteri yang menjadi masalah RUU Kesehatan di masyarakat adalah jika lembaga BPJS bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri, itu akan menjadi kontraproduktif buat masyarakat. Selama ini BPJS sudah berjalan dengan baik,” terang Timboel.
Pernyataan pada Pasal 425 dalam RUU Kesehatan memposisikan BPJS Kesehatan dalam mengelola program JKN berada di bawah Menteri Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan dalam mengelola program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan berada di bawah Menteri Ketenagakerjaan.
BACA JUGA: Sahroni Apresiasi Bantuan Hukum dari Kejati DKI untuk BPJS Ketenagakerjaan
Apalagi RUU Kesehatan ini pun memuat ketentuan tentang kewajiban BPJS melaksanakan penugasan menteri.
Dalam dialog tersebut, kata Timboel, Menkes menyampaikan bahwa pihaknya setuju jika pasal 425 dihapus saja. Hal tersebut tidak menjadi masalah bagi Menkes karena yang diperlukan hanya koordinasi melalui Komite Kebijakan Sektor Kesehatan yang tertuang pada pasal 426 RUU Kesehatan.
Timboel menjelaskan jika Menkes hanya butuh koordinasi saja. “Koordinasi itu bukan berarti ada atasan dan bawahan, setara saja antara Menteri dan BPJS,” imbuh Timboel.
Ini perkembangan yang baik, sebab, Menteri Kesehatan sudah sepakat bahwa pasal 425 RUU terkait Kesehatan BPJS bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri dan penugasan serta laporan kepada Presiden melalui Menteri itu dihapus saja.
Timboel menambahkan, Undang-Undang SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) termasuk bagian yang direvisi dalam RUU Kesehatan, isinya adalah hal-hal teknis yang ada dalam Perpres. Misalnya Perpres No. 82 Tahun 2018 Pasal 52 Ayat 1 yang menjelaskan bahwa korban kekerasan seksual, penganiayaan, trafficking, terorisme, sekarang tidak dijamin JKN. Harapannya saat dinaikan menjadi draft RUU Kesehatan, korban kekerasan seksual dan kecelakaan tunggal dijamin oleh JKN.
“Menurut saya ga perlu menjadi undang-undang, karena kebutuhan kedepan akan berubah cepat. Apakah kedepannya jika ada perubahan harus berganti undang-undang lagi? Sebaiknya tidak perlu menjadi undang-undang, sebatas Perpres saja sudah cukup,” pungkas Timboel.(mcr10/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul