Bagaimana rasanya menjalani puasa Ramadan di Jerman yang umat muslimnya termasuk minoritas? Mantan wartawan Jawa Pos MARIA WPARAMITA yang kini menempuh studi master di Stuttgart, Jerman, melaporkan.
= = = = = = = = = = = = = =
SAYA cukup beruntung
BACA JUGA: Rumitnya Mendesain Mata Uang Baru Rupiah
Dua Ramadan terakhir saya lewatkan di dua negara yang berbedaBACA JUGA: Selamat setelah Berdoa Menyinggung Air
Jerman termasuk negara dengan penduduk muslim terbanyak kedua setelah Prancis.Di antara total 80 juta jiwa penduduk Jerman, sekitar 3,5 juta merupakan warga muslim
Dengan jumlah penduduk muslim yang cukup besar, Jerman tergolong "ramah" untuk muslimah seperti saya
BACA JUGA: Mochamad Ariyo Farid Zidni, Pendongeng dari Bencana ke Bencana
Toko berlabel halal relatif gampang ditemuiWanita berjilbab pun banyak dijumpai di mana-manaHampir 80 persen di antara 3,5 juta umat muslim itu merupakan warga keturunan Turki.Di Jerman, fase kehadiran muslim dimulai setelah Perang Dunia IISaat itu, Stuttgart yang terkenal sebagai kota industri serta pusat pabrik mobil Mercedes-Benz menjadi sasaran penghancuran yang utamaKota tersebut diluluhlantakkan dengan tujuan menghentikan kegiatan industri sebagai tulang punggung perekonomian negara
Akibat penghancuran itu, sejumlah imigran dari Turki didatangkan sebagai pekerjaMulai 1961 hingga 1976, sekitar 800 ribu Turkish "sebutan orang Turki" datang ke JermanPada saat bersamaan, penyebaran agama Islam pun dimulai, termasuk pembangunan tempat ibadah (masjid)Kini, hampir setiap kota besar di Jerman mempunyai masjid besar dan puluhan masjid kecil
Walau mayoritas muslim di Jerman adalah Turkish, banyak pula imigran muslim dari negara Timur Tengah, India, serta BangladeshMasing-masing komunitas mempunyai masjidDi kota tempat tinggal saya, Stuttgart, terdapat 10 masjid Turki, tiga masjid Arab, satu masjid India, dan satu masjid BangladeshTapi, jangan dibayangkan masjid di Stuttgart seperti masjid di IndonesiaUmumnya berukuran kecil dan lebih layak disebut musala bila di Indonesia.
Masjid di Stuttgart tanpa kubah, tanpa minaretBahkan, beberapa tak terlihat seperti masjidHanya berupa sebuah ruangan lapang di bagian basement apartemenKalaupun ada penanda, sangat minimMisalnya, masjid Turki di kawasan MarienplatzMasjid itu sekaligus berfungsi sebagai Islamic Center, sehingga lebih besar dibanding masjid-masjid lainnya
Masjid tersebut berlantai empatDua lantai untuk kegiatan umum seperti belajar Alquran, satu lantai untuk jamaah laki-laki, dan lantai teratas untuk jamaah perempuanMasing-masing lantai dilengkapi dapur, kamar mandi, dan satu ruang makan
Agak tak wajar memang untuk sebuah masjid karena sebenarnya bangunan itu sama sekali tidak dibangun untuk masjidBangunan tersebut tak ubahnya apartemen pada umumnya, kemudian difungsikan sebagai masjidTak ada tulisan penanda masjid di depan bangunan ituSatu-satunya tanda hanyalah hiasan di atap masjid berupa bulan sabitItu pun berukuran kecilJika tak diperhatikan secara seksama, hiasan tersebut tak terlihat
Saya dipandu teman saya, Mustafa Hossein, mahasiswa asal Mesir yang sudah lama tinggal di StuttgartTanpa dia, saya tidak yakin bisa menemukan masjid Turki itu"Di Jerman harus hati-hati pilih masjidBeberapa di antaranya milik Jamaah Islamiyah (JI)," kata Mustafa ketika saya mencari tahu tentang masjid-masjid di Stuttgart.
Sayangnya, Mustafa tak terlalu hafal masjid mana saja yang berlabel JIDemi keamanan, dia merekomendasikan masjid Turki di Marienplatz dan Masjid Omar bin El-Kathab di kawasan Ban Canstadt serta satu masjid di lingkungan Stuttgart University
Hanya, masjid di dalam kampus tersebut tidak memiliki tempat untuk jamaah perempuanSaat puasa Ramadan ini, masjid di kampus itu mengadakan buka puasa bersama setiap Jumat dengan menu sederhanaMisalnya, roti isi daging
Tak punya banyak pilihan, saya mengunjungi masjid TurkiMereka menyediakan buka bersama setiap hari dan mempunyai tempat untuk jamaah perempuanMenunya, tak bisa ditebakSebab, pengurus masjid biasanya menerima takjil berbuka dari jamaah sesaat sebelum berbuka.
Ketika saya berbuka di masjid tersebut, dua panci besar sup harira (sup rempah ala Timur Tengah), dua macam roti, kartofelnundfleisch (semacam semur sapi dan kentang), serta beberapa makanan ringan mirip martabak dengan isi daun bayam jadi menu hari itu
Saat itu, jamaah perempuan hanya tujuhSeluruhnya sebelumnya saling kenalHanya saya dan teman sekampus saya, Maryam, yang baru pertama datangMeski begitu, mereka menerima kami dengan sangat ramahBegitu azan magrib dikumandangkan, mereka mempersilahkan saya dan Maryam ke ruang makan untuk berbuka
Kami duduk mengelilingi meja makan, mirip makan malam keluargaAlya Bunyamin, pengurus masjid, menyatakan tak banyak jamaah perempuan yang datang untuk berbuka puasa di masjid"Kebanyakan jamaah perempuan berbuka puasa di rumah, menyiapkan untuk keluarga," jelasnya
Bahkan, pada hari biasa, jamaah perempuan yang ke masjid jauh lebih sedikit"Mereka biasanya datang setiap Jumat untuk salat Jumat," tambahnyaNamun, jumlahnya tak lebih dari 20 orangSelama kami berbuka, masjid itu mendapat tambahan sekitar dua hingga tiga hidangan berbuka puasa dari jamaah.
Kebanyakan jamaah mengantarkan roti dalam berbagai bentuk dan rasa"Alhamdulillah, setiap hari ada saja yang mengantar takjil berbuka," lanjut dia
Walaupun masjid itu milik komunitas Turkish, mereka menyatakan bahwa masjid tersebut terbuka untuk siapa sajaMereka bahkan mengundang kami untuk berbuka puasa setiap hari di sana(*/c5/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengalaman Ulama Suni Indonesia
Redaktur : Tim Redaksi