Di dalam kamp pengungsi simulasi yang didirikan di pinggiran barat Sydney, yakni Auburn, ada pemahaman yang lebih besar tentang seperti apa hidup ini bagi 65 juta orang di seluruh dunia yang telah mengungsi dari rumah mereka. Berikut penuturan jurnalis Australia Plus, Lisa Clarke.

Saya dijemput di keamanan perbatasan oleh seorang pria berkacamata hitam. Saya tak bisa memahami bahasa yang ia gunakan. Ia kelihatan tak senang karena saya mengganggu ritual kopi paginya.

BACA JUGA: Mencicipi Juaranya Kopi di Australia

Ia memberi sinyal saya untuk maju kemudian menunjuk tas saya. Saya tak ingin menyerahkan tas saya kepadanya tapi merasa saya tak punya pilihan.

Saya diarahkan ke samping dan berjalan bersama sambil menunggu orang lain yang antre untuk melalui ketidakpastian yang sama.

BACA JUGA: Merawat Satu-satunya Bunga Bangkai di Melbourne

Papan penanda yang menunjukkan bahwa anda memasuki tur kamp pengungsi urban di inisiatif 'Refugee Camp in my Neighbourhood', di Auburn.

ABC; Lisa Clarke

Ini hanyalah awal dari perjalanan saya di program ‘Refugee Camp in my Neighbourhood’ (Kamp Pengungsu di Lingkungan Sekitar Saya).

BACA JUGA: Mencoba Working Holiday Visa ke Australia

Pada tahun 2014, lebih dari 100 anggota komunitas lokal dari pengungsi dan latar belakang pencari suaka bekerja bersama dewan lokal untuk merancang sebuah kamp pengungsi simulasi di Auburn, di mana setiap anggota masyarakat bisa memiliki kesempatan untuk merasakan seperti apa hidup sebagai pengungsi.

Sekarang di tahun ketiga, program ‘Refugee Camp in my Neighbourhood’ bertujuan untuk membantu para peserta memahami mengapa orang-orang dari seluruh dunia terkadang mengambil perjalanan berisiko sejauh ribuan kilometer untuk mencari rumah yang aman bagi mereka dan keluarga mereka.

Sebanyak 15 pemandu dari tujuh negara yang berbeda termasuk Irak, Iran, Afghanistan, Libya, Sudan Selatan, Sierra Leone dan Fiji mengarahkan para peserta di kamp simulasi, berbagi cerita pribadi tentang pengalaman mereka sendiri sebagai seorang pengungsi. Contoh mainan yang dimiliki anak-anak di Afrika Barat ditampilkan di program simulasi 'Refugee Camp in my Neighbourhood' di Auburn.

ABC; Lisa Clarke

Setelah kelompok ini sampai di kontrol perbatasan, kami diberi dua puluh menit untuk mencari makanan, tempat berlindung dan air bersih. Kami mendaftar di sebuah pos PBB jadi-jadian, di mana kami diberitahu bahwa kami perlu membuat tas kecil dari koran untuk ditukar dengan jatah makanan kami.

Di tenda terpisah, kami mencoba untuk membuat tas kertas ini ketika seorang perempuan dari Afrika barat mendesak kami untuk duduk di lantai dan mulai mengelap papan tulis kecil kotor hingga bersih dengan tangan kosong.

Ini semua diinstruksikan dengan menggunakan tangan dan bahasa tubuhnya sendiri, karena kami tak bisa memahami kata-kata yang ia sampaikan pada kami.

Pengalaman ini membingungkan dan sedikit canggung, sampai ia menjelaskan dalam bahasa Inggris bahwa ini adalah apa yang harus dilalui anak-anak Afrika barat setiap harinya di kamp-kamp. Tak ada sekolah formal. Tak ada buku latihan. Tak ada pena untuk menulis.

Mainan yang diberikan untuk bermain adalah buatan tangan dari kertas memo apapun yang bisa ditemukan.

Ini adalah pengalaman yang menyejukkan bagi kami para peserta. Ghassan Alassadi membangun mudhif khas Irak -rumah tradisional dari alang-alang -yang dipamerkan di program 'Refugee Camp in my Neighbourhood' di Auburn.

ABC; Lisa Clarke

Pengakuan UNESCO atas Kampung Rawa Irak

Pengungsi asal Irak, Ghassan Alassadi, merasa penting untuk menyertakan mudhif (rumah tradisional Irak) sebagai bagian dari pengalaman simulasi pengungsi di Auburn. Rumah-rumah tradisional dari alang-alang ini dibuat oleh penduduk Kampung Rawa di selatan Irak, tempat asal Ghassan. Pada 17 Juli 2016, kampung rawa Irak di mana rumah-rumah ini tampak menonjol, diumumkan sebagai situs warisan dunia baru oleh UNESCO atas signifikansi budayanya.

Ghassan membangun mudhif dengan tangannya sendiri menggunakan bahan yang sama dengan apa yang aslinya ada di selatan Irak.

Kami membangunnya untuk memecahkan masalah kami, untuk acara dan pertemuan, dan memiliki efek yang sangat baik pada gaya hidup pengungsi.

- Ghassan Al Assadi

Setelah melarikan diri dari Irak ke Arab Saudi, ketika Ghassan berada di kamp pengungsi, mudhif akan menjadi tempat yang aman baginya untuk menemukan pelipur lara.

"Sangat penting bagi semua [anggota] komunitas untuk melihat bahwa ini bukan hanya sebuah rumah, ini adalah rumah di mana semua masalah diselesaikan di dalamnya," kata Ghassan

Bangunan tradisional ini digunakan sebagai rumah kebijaksanaan, gedung pengadilan, rumah kasih sayang, dan rumah untuk merayakan sesuatu.

Ghassan baru saja merayakan 20 tahun hidupnya di Australia, yang tiba bersama keluarganya pada 1 Juli 1996. Kelompok tur duduk di peti plastik dan memakai jaket pelampung di sebuah ruangan kecil untuk mensimulasikan pengalaman berada di kapal pengungsi dalam program 'Refugee Camp in my Neighbourhood'.

ABC; Lisa Clarke

Dari Timur Tengah ke barat Sydney

Pemandu kami berikutnya di kamp simulasi ini adalah Mohamed Al-Ameri, yang juga dari Irak.

Ia membawa kami ke sebuah ruangan gelap yang kecil dan memerintahkan kami untuk duduk di peti plastik dan memakai jaket oranye terang.

Kami sekarang berpura-pura berada di perahu reyot kecil yang sedang menempuh perjalanan ke pantai Australia.

Gambar mengerikan diproyeksikan ke dinding depan saat Mohamad menjelaskan betapa menakutkannya pengalaman ini bagi sesama pengungsi yang menempuh perjalanan ke negara kami dengan perahu.

Ia sendiri beruntung bisa terbang ke Australia dengan visa, tetapi pengungsi yang lain tak begitu beruntung. Pengungsi Irak, Mohamad Al-Aderi, berbagi pengalaman kepada masyarakat yang berpartisipasi dalam program simulasi 'Refugee Camp in my Neighbourhood'.

ABC; Lisa Clarke

Mohamad melarikan diri dari Irak ketika hidupnya terancam setelah ia bekerja dengan pasukan koalisi selama perang.

Dengan istri dan dua anaknya, Mohamad menumpang taksi tujuh kursi melintasi perbatasan Yordania pada tengah malam, bertahan di sana selama beberapa bulan sebelum pindah ke Yaman.

"Bibi saya ada di sana mengajar di sekolah swasta, dan ia membantu kami untuk mendapatkan visa," tutur Mohamad.

Menjual perhiasan istrinya untuk membayar relokasi, ia akhirnya berpikir bahwa ia dan keluarganya selamat. Lalu perang saudara pecah di Yaman dan mereka harus kembali mencari tempat yang aman untuk hidup.

Menghabiskan beberapa jam di kamp simulasi ini tak hanya informatif, tetapi seringkali menggugah dan sedikit tak nyaman. Ketika Anda berada di posisi orang lain dan memvisualisasikan bagaimana rasanya melalui pengalaman yang sama, Anda memiliki apresiasi baru atas kehidupan aman yang kami jalani di Australia.

Program simulasi ‘Refugee Camp in my Neighbourhood’ berlangsung dari tanggal 1- 12 Agustus di pinggiran barat Auburn, 19 kilometer dari pusat kota Sydney. Anda bisa mengetahui lebih lanjut tentang tur simulasi ini di situs program.

Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.

Diterjemahkan: 17:03 WIB 10/08/2016 oleh Nurina Savitri.

Lihat Artikelnya di Australia Plus

BACA ARTIKEL LAINNYA... Zenith Irfan, Tak Gentar Jelajahi Pakistan dengan Motornya

Berita Terkait