Mereka Mengaku Mualaf Agar Selamat dari Abu Sayyaf, Kisahnya...

Selasa, 03 Mei 2016 – 20:46 WIB
TIBA DENGAN SELAMAT: 10 ABK Brahma 12 yang tiba di Jakarta. FOTO: JAWA POS

jpnn.com - DI sebuah pulau yang masuk wilayah Sulu itulah Julian Philips dan sembilan ABK Brahmad 12 memulai kehidupan baru sebagai sandera kelompok Aby Sayyaf. Bahkan, beberapa sandera yang beragama nonmuslim mengaku sebagai mualaf agar tak dieksekusi Abu Sayyaaf.

”Nama pulau kami tidak tahu,” kata Julian yang merupakan pria dari Minahasa, Sulawesi Utara, tersebut.

BACA JUGA: Detik-detik Menegangkan Saat Abu Sayyaf Sandera ABK Brahma 12

Sulu memang sebuah kepulauan yang secara administratif berada di bawah Provinsi Sulu dengan Jolo sebagai ibu kota. Provinsi di Filipina Selatan tersebut merupakan bagian dari Autonomous Region in Muslim Mindanao.  

Abu Sayyaf membagi para sandera menjadi beberapa kelompok. Khususnya jika situasi dinilai tidak kondusif. Sebab, jika bergerombol, itu akan menyulitkan pengamanan saat berpindah tempat.

BACA JUGA: Wuihh..Gayus Gugat Kemenkeu dan Ditjen Pajak

Pindah dari satu tempat ke tempat lain memang menjadi kegiatan wajib para sandera. Rentang waktunya pun tidak menentu. Bisa dua sampai empat hari saja. ”Migrasi” itu selalu dilakukan jika ada informasi pengejaran yang dilakukan tentara Filipina.

Meski beberapa kali mendapat ancaman pemenggalan, lanjut Philips, dirinya dan beberapa rekan mendapat penjagaan keamanan yang cukup baik. ”Mungkin mereka berpikir, kalau ada satu sanderanya mati, mereka nggak akan dapat uangnya,” terang pria berusia 50 tahun itu.

BACA JUGA: Akbar Sebut Tommy Soeharto Juga Berhak Pimpin Golkar

Alvian menambahkan, selama masa penyanderaan, tidak ada kekerasan fisik yang dialami. Bahkan, dia dan rekan-rekannya tidak pernah dikurung. Meskipun memang lima orang bersenjata lengkap selalu mengawasi gerak-gerik mereka tanpa jeda.

”Mukanya tidak tahu karena semuanya pakai penutup muka tiap hari,” kata pria dari Jakarta tersebut. 

Meski tak diperlakukan kasar, tidak berarti hati mereka tenang. 

Sandera lain, Peter Thompson, mengaku, dirinya, Alvian Repi, dan Julian Philips yang sama-sama nonmuslim terpaksa mengaku mualaf demi keselamatan. ”Kami bertiga mengatakan bahwa kami mualaf demi menyelamatkan nyawa saya dan kawan-kawan,” ungkapnya.

Soal makanan, para personel Abu Sayyaf tergolong adil kepada para tawanan. Tidak ada diskriminasi. Apa yang dimakan penyandera, lauk itu juga yang diberikan untuk para sandera. Menunya macam-macam. 

”Yang kurang di sana hanya air bersih karena ada di hutan,” terang pria 33 tahun tersebut.

Menurut Alvian, hutan yang mereka tinggali bukan hutan tropis yang lebat. Melainkan hutan khas kepulauan. ”Adanya seperti pohon kelapa dan pohon lainnya saja,” terangnya.

Soal aktivitas setiap hari, Alvian mengatakan lebih sering duduk-duduk santai. Sambil mengobrol dengan rekan-rekan. Sesekali, obrolan juga dilakukan dengan perompak. Di antara lima penjaga, ada dua orang yang mampu berbahasa Inggris.

Namun, aktivitas santai itu langsung sirna tiap kali ada informasi bahwa tentara Filipina datang. Rombongan lantas bergegas, pindah ke hutan lain. Tapi, mereka tidak pernah terlibat dalam konflik terbuka dengan tentara. Sampai hari mereka dibebaskan. (MOCHAMMAD SALSABYL ADN-FOLLY AKBAR/c11/ttg)

BACA ARTIKEL LAINNYA... MenPAN-RB: Petugas Lapas Jangan Loyo dan Mata Duitan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler