Mereka Menyelam di Air Keruh, Penghasilan per Hari Segini

Rabu, 20 April 2016 – 00:19 WIB
ULET: Mujoko bersama rekan seprofesinya rela berpanas-panasan demi mengais pasir. Foto: Iwan Kawul/Radar Solo

jpnn.com - SEBAGIAN warga Dusun Timang Kulon, Kelurahan Wonokerto, Wonogiri, Jateng, mencari rejeki dengan cara membenamkan diri di air sungai yang keruh. Ya, mereka menambang pasir sebagai sumber penghidupan sehari-hari.

IWAN KAWUL, Wonogiri

BACA JUGA: HEBAT! Musa Diwawancarai Sejumlah Media di Mesir

TUBUHNYA gemuk, kulitnya tampak menghitam terbakar sengatan matahari. Namun, Mujoko, 40, warga Desa Timang Kulon, Kelurahan Wonokerto, Wonogiri ini masih tetap berjibaku melawan derasnya aliran Sungai Walikan di desa itu.

“Ya kalau musim hujan begini pasirnya banyak, karena banjir membawa sedimentasi dari atas,” kata bapak dua anak ini.

BACA JUGA: Pemain Bola Profesional Banting Setir jadi Model, Diajak Main Sinetron

Tubuh gemuknya terendam sebatas perut di dalam air, kakinya menjejak-jejakkan ke dasaran sungai, mendeteksi lokasi endapan-endapan pasir. 

Begitu kakinya merasakan adanya pasir, spontan tubuh gemuk itu membenam ke dasar sungai. 

BACA JUGA: Hebat! Begini Cara Mereka Mensyukuri Nikmat

Tak lama, kemudian muncul ke permukaan dengan satu sekop pasir sungai yang hitam. “Sudah lama saya cari pasir, sejak 1992,” katanya.

Mujoko tidak sendirian. Ada lima orang dalam kelompok pencari pasir itu. Semuanya berasal dari desa yang sama dengan Mujoko.

Bukan saja dari lokasi yang sama, mereka juga membagi rata hasil mencari pasir itu.  “Saya ada enam orang yang cari pasir. Masih satu dusun, tapi hanya beda RT,” katanya.

Dengan menggunakan empat buah rakit dari bambu, pasir-pasir yang diambil dari kedalaman air diletakan di atas rakit bambu. Setelah penuh, kemudian dibawa ke penampungan pasir di pinggiran sungai. 

Satu persatu rakit diturunkan pasirnya di pinggiran sungai itu. Telah menunggu di sana sebuah truk pasir yang siap membawa hasil kerja keras para lelaki berkulit legam itu. “Satu rit Rp 400 ribu, sehari kami berenam dapat dua rit,” katanya.

Hasil penjualan pasar ini selanjutnya dibagi rata seluruh anggota pencari pasir itu. Beruntung, saat ini tak jauh dari lokasi sedang ada pembangunan sebuah pabrik, sehingga untuk melayani kebutuhan pabrik itu, merekapun kewalahan. Belum lagi pesanan dari kolega-kolega yang lain. 

“Untungnya air sedang banjir, jadi banyak pasirnya. Sedikit bisa memenuhi pesanan. Tapi, kalau mau banyak-banyak mengambil pasir tidak ada tenaganya,” paparnya.

Hal ini sangat kontras dengan kondisi saat musim kemarau, di mana air sedang surut. Air sungai tidak membawa butiran-butiran pasir. Kalau sudah begitu, para penambang pasir itu beralih profesi menjadi penambang batu kali. 

Batu-batu kecil dari sungai dikumpulkan, yang bulat dan hitam dipisahkan, sedangkan batu lain dipecah menjadi batu split.

“Kalau kemarau airnya kering. Yang bagus buat batu taman atau batu hiasan. Yang tidak bagus ya dipecah jadi batu split,” kata Mujoko, kepada Radar Solo (Jawa Pos Group).

Menjelang Ashar, kelompok itupun berhenti menambang pasir. Dua rit sudah diambilnya dari sungai. Mereka kemudian pulang ke rumah masing-masing. 

Mujoko masih tetap harus bekerja, yakni mencari rumput untuk memberi makan sapi piaraannya. “Di rumah saya pelihara sapi, lumayan untuk menyambung hidup,” ujarnya. (RS/sam/jpnn) 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Hal-hal Menarik yang akan Anda Temui Saat Berlibur ke Korea Utara


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler