jpnn.com, JAKARTA - Indonesia bersama para tetangga yang tergabung dalam ASEAN memang harus menanggapi eskalasi ketegangan di Laut China Selatan.
Demi menjaga dan merawat stabilitas kawasan Asia Tenggara, tidak ada pilihan lain bagi ASEAN, kecuali mengerahkan kekuatan militernya untuk mengantisipasi dan menyusun beragam strategi yang diperlukan untuk merespons situasi terburuk.
BACA JUGA: Tak Akui ZEE Vietnam, Tiongkok Mengaku Penguasa Laut China Selatan
Untuk keperluan itulah sepuluh negara anggota ASEAN telah bersepakat untuk menggelar latihan militer gabungan di Laut Natuna Utara, kepulauan Riau.
Rencananya, latihan militer gabungan itu digelar pada September 2023, dan menghadirkan Timor Leste sebagai anggota pemantau.
BACA JUGA: Vietnam Desak Tiongkok Hentikan Penyerobotan di Laut China Selatan
"Kami akan menggelar latihan militer bersama di Laut Natuna Utara," kata Panglima TNI Laksamana Yudo Margono.
Panglima TNI mengumumkan rencana ini seusai menggelar pertemuan para Panglima Angkatan Bersenjata anggota ASEAN di Nusa Dua, Bali, Jumat (9/6).
BACA JUGA: Malaysia Tak Akan Melepas Kedaulatan di Laut China Selatan
Latihan ini akan berfokus pada keamanan maritim dan penyelamatan SAR, serta pelayanan sosial di wilayah Natuna.
Seluruh angkatan bersenjata ASEAN, baik dari angkatan darat, angkatan laut, maupun angkatan udara, akan terlibat dalam latihan ini.
Tentu saja ada alasan atau pertimbangan sangat strategis yang mendorong para pejabat tinggi bidang pertahanan dari semua anggota ASEAN untuk menyepakati latihan gabungan militer itu.
Sangat menarik untuk dipahami lebih mendalam, karena agenda militer ini tercatat sebagai yang pertama kalinya pernah diinisiasi bersama oleh negara-negara di Asia Tenggara.
Soalnya, sejak didirikan 1967, ASEAN belum pernah menggelar latihan militer gabungan.
Eskalasi ketegangan di Laut China Selatan tampaknya menjadi faktor paling relevan yang mendorong militer ASEAN bersepakat untuk memberi tanggapan, sekaligus mempersiapkan kekuatan yang diperlukan untuk menjaga dan merawat stabilitas Asia Tenggara.
Sejak berakhirnya perang Vietnam pada 1975, Asia Tenggara tercatat sebagai kawasan paling kondusif.
Namun, ketegangan di Laut China Selatan akhir-akhir ini berpotensi merusak kondusivitas itu, terutama karena hampir semua anggota ASEAN memiliki kepentingan di wilayah perairan tersebut.
Memang, ketika ketegangan di Laut China Selatan terus meningkat akhir-akhir ini, ASEAN tidak bisa berdiam diri atau bersikap minimalis.
Ketika perkembangan di Laut China Selatan semakin tak terkendali, stabilitas Asia Tenggara akan terdampak karena beberapa anggota ASEAN akan tergerak untuk mempertahankan dan mengamankan kepentingannya di wilayah tersebut.
Sebagaimana diketahui, sejak 1947, Tiongkok mengklaim Laut China Selatan sebagai wilayahnya.
Tiongkok kemudian mempertegas klaim itu dengan membuat sembilan garis putus-putus (the nine-dash line).
Tindakan Tiongkok itu ditentang oleh sejumlah anggota ASEAN.
Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam juga mengklaim sebagian dari Laut China Selatan sebagai wilayah mereka.
Salah satu indikator tentang eskalasi ketegangan di Laut China Selatan bisa dibaca dari pernyataan pemimpin Tiongkok, Presiden Xi Jinping.
Dalam forum pertemuan Komisi Keamanan Nasional Partai Komunis Tiongkok baru-baru ini, Presiden Xi meminta para pejabat tinggi keamanan nasional-nya untuk memikirkan skenario terburuk dan bersiap menghadapi ‘lautan badai’.
"Kompleksitas dan kesulitan masalah keamanan nasional yang kita hadapi sekarang telah meningkat secara signifikan," kata Xi pada pertemuan itu.
Bukan isu baru jika para pemimpin Tiongkok di Beijing selalu tidak nyaman karena merasa lingkungan internasional menunjukan perilaku kurang bersahabat.
Setidaknya, tercatat ada dua masalah yang menyebabkan para elit di Beijing selalu terusik.
Kalau dilihat dari rentang waktu, keduanya nyaris jadi masalah permanen.
Pertama, niat Beijing untuk mengklaim Taiwan yang hingga kini belum terwujud.
Sebaliknya, Taiwan bahkan selalu menunjukan perlawanan.
Masalah kedua adalah klaim Tiongkok atas Laut China Selatan yang juga selalu ditentang komunitas internasional, termasuk ASEAN.
Ketika Presiden Xi mengingatkan para pejabat tinggi keamanan segera mengkaji skenario terburuk untuk merespons gangguan terhadap keamanan nasional, dia tentu mengacu pada aktivitas militer asing di Laut China Selatan.
Faktor lain yang tak jarang membuat Beijing geram adalah kegiatan militer Taiwan yang sering berlatih untuk memperkuat ketahanan negara itu dari kemungkinan invasi Tiongkok.
Taiwan menjadi isu sangat sensitif bagi Beijing.
Saat Taiwan dikunjungi Ketua DPR Amerika Serikat (AS), Nancy Pelosi, Beijing yang jelas-jelas merasa diremehkan langsung memberi respons dengan menggelar latihan militer.
Beijing jelas merasa tidak nyaman melihat AS yang terus memperkuat aliansi keamanan di seluruh kawasan Asia-Pasifik dan sekitarnya.
Terlebih, akhir-akhir ini, aktivitas militer di Laut China Selatan memang meningkat.
Pengerahan mesin perang di Laut China Selatan dengan dalih latihan bersama tentu tidak bisa diterima begitu saja oleh Beijing.
Beberapa hari lalu, AS, Filipina dan Jepang memperkuat kerja sama maritim dengan melakukan latihan bersama.
Ketiga negara itu mengerahkan kapal-kapal penjaga pantai dalam latihan gabungan berdurasi seminggu yang digelar dekat Manila Bay di Laut China Selatan.
Latihan bersama ini digambarkan sebagai jawaban atas agresivitas Tiongkok di Laut China Selatan.
Tidak tinggal diam, Beijing pun memerintahkan kekuatan militernya untuk merespons kegiatan militer di Laut China Selatan.
Sebagaimana telah dipublikasikan oleh pers, aktivitas militer di Laut China Selatan sering diwarnai dengan manuver-manuver yang cukup berbahaya antara militer AS dan sekutunya dengan militer Tiongkok.
Ketidakmampuan mengendalikan diri atau salah pengertian di antara dua kekuatan yang berseberangan itu bisa menyulut perang.
Sejauh ini, belum ada upaya sungguh-sungguh dari semua pihak untuk membawa persoalan klaim Laut China Selatan ke meja perundingan.
Tiongkok menolak mematuhi keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional tahun 2016 yang menyatakan Beijing itu tidak punya dasar hukum untuk mengklaim wilayah perairan itu.
Dengan luas 3,685 juta kilometer persegi, Laut China Selatan berbatasan dengan Tiongkok, Taiwan, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Vietnam.
Klaim Tiongkok atas Laut China Selatan dengan sembilan garis putus-putus itu sejatinya juga menggangu kepentingan Indonesia di Laut Natuna Utara, meliputi kepentingan pertahanan dan kepentingan ekonomi.
Mau tak mau, eskalasi ketegangan di Laut China Selatan pun akan menghadirkan masalah bagi Indonesia.
Dalam Keputusan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 7/2016, disebutkan bahwa Laut Natuna kaya sumber daya laut dengan beragam jenis ikan dan biota laut.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) juga mencatat bahwa minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam potensial lainnya di Laut Natuna Utara.
Adalah keniscayaan jika TNI pun harus pro aktif mengamankan kepentingan nasional di Laut Natuna Utara yang berbatasan dengan Laut China Selatan. (***)
Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI/Ketua Dewan Pembina Alumni Doktor UNPAD/Dosen Tetap Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Borobudur dan Universitas Perwira Purbalingga (UNPERBA)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Sutresno Wahyudi