jpnn.com, JAKARTA - Pakar Hukum Pidana Prof Dr. Agus Surono merespons atas pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR pada 12 April 2022.
Rapat pengesahan itu dipimpin langsung oleh Ketua DPR RI Puan Maharani.
BACA JUGA: UU TPKS Bukti Perjuangan DPR untuk Menghidupkan Semangat Kartini
“Saya mengapresiasi atas pengesahan RUU TPKS menjadi undang-undang,” kata Agus Surono, Senin (18/4).
Dia menilai publik, terutama para aktivis perempuan sudah lama menanti pengesahan undang-undang ini yang menjadi acuan bagi para penegak hukum untuk memberikan hukuman kepada pelaku yang melakukan tindakan kekerasan seksual.
BACA JUGA: Diah Pitaloka Anggap Aturan Turunan Ini Diperlukan Setelah UU TPKS Disahkan
Namun, dia juga tak menampik bahwa peran Ketua DPR Puan Maharani sangat krusial dalam mendorong percepatan pengesahan UU tersebut yang sudah dinantikan pegiat perempuan selama hampir satu dekade.
Meski UU TPKS ini dijadikan sebagai acuan, namun Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pancasila ini mengatakan ada beberapa catatan yang perlu mendapat perhatian dalam UU ini.
BACA JUGA: Lihat, Ada Papan Bunga Buat Mbak Puan dan DPR Karena Sahkan UU TPKS
UU TPKS ini harus disinkronkan dengan UU yang lainnya, seperti KUHP, UU Pornografi, UU KDRT, dan UU Perlindungan Anak.
“Dalam praktiknya nanti, penegak hukum juga perlu memperhatikan undang-undang lain yang sudah ada sebelumya,” tegas Prof Agus di Depok, dikutip Minggu (17/4/22)
Terkait dengan efektivitas sanksi yang ada dalam UU TPKS ini, dia menjelaskan bahwa dalam konsep hukum pidana, terutama pemidanaan, sudah ada ketentuan pidana dalam Pasal 10 KUHP, yang terbagi dalam pidana pokok dan pidana tambahan.
Namun, menurut Agus, yang baru dalam UU TPKS ini adalah memberikan penegasan kembali, terutama terkait dengan pidana tambahan, yaitu dalam bentuk tambahan sanksi yang lebih keras dibandingkan dengan sanksi pidana pada umumnya.
Tak Akan Ada Tumpang Tindih
Menanggapi kekhawatiran publik soal ada tumpang tindih antara UU TPKS dengan UU Pornografi, UU KDRT, dan UU Perlindungan Anak, pakar hukum pidana ini menjelaskan secara gamblang bahwa hal yang perlu dipahami publik adalah norma perbuatan yang dilanggar oleh pelaku dalam beberapa undang tersebut berbeda satu sama lain. Oleh karena itu, tidak mungkin akan terjadi tumpang tindih.
Namun dia menambankan dalam praktiknya nanti, ketika ada satu peristiwa pidana yang berkaitan dengan kekerasan seksual, aparat penegak hukum bisa saja mengacu kepada ketentuan peraturan perundangan yang ada dalam beberapa UU itu, termasuk KUHP. Penegak hukum biasanya menggunakan terminologi dan/atau.
“Dalam konsep hukum pidana itu, ada yang namanya gabungan tindak pidana, artinya seorang pelaku, bisa saja dalam peristiwa pidana yang dilakukan oleh pelaku, bisa saja ia melanggar beberapa ketentuan tindak pidana, baik yang ada dalam KUHP, maupun yang berada di luar KUHP, termasuk juga secara spesifik dalam UU TPKS yang baru disahkan itu,” ujar Prof. Agus.
Sebelumnya, Ketua DPR Puan Maharani dalam momentum pengesahan UU TPKS Puan mengapresiasi peran berbagai elemen masyarakat sipil yang ikut menyumbang pemikiran selama proses pembahasan UU TPKS.
“UU TPKS bisa terwujud atas upaya bersama seluruh elemen Bangsa, termasuk masyarakat sipil yang terus menggaungkan, menyumbang ide dan pemikiran,” ujar Puan beberapa waktu lalu.(jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari