Menurut Tony, pada 2006 Direksi MNA di bawah Hotasi memang memutuskan penyewaan dua Boeing 737 atau yang dikenal dengan istilah Classic Family karena berbagai pertimbangan. "Semua direksi (lima orang,red) menginginkan pesawat itu. Mereka menginginkan itu karena tipe pesawatnya lebih efisien untuk membantu kondisi perusahaan yang krisis," kata Tony.
Di hadapan majelis hakim yang diketuai Pangeran Napitupulu itu Tony juga mengatakan, Direksi MNA memang memiliki program untuk mengatasi krisis yang membelitperusahaan BUMN itu. "Ada tiga program, penambahan armada, SDM (pengurangan pegawai, red) dan penyelesaian hutang. Itu program strategis yang mutlak dilakukan manajemen," sambung Tony.
Menurutnya, pembayaran untuk hal-hal yang prioritas termasuk pengadaan pesawat juga diputuskan oleh direksi berlima. Karena sudah melalui berbagai pertimbangan, kata Tony, maka direksi MNA yakin uang USD 1 juta yang dikeluarkan sebagai security deposit bisa mengikat pihak Thirdthone Aircraft Leasing Group (TALG) selaku lessor. "Saya melihat tidak ada (direksi,red) yang ragu," tegasnya.
Tapi pihak TALG ternyata ingkar janji dan dua unit pesawat yang sudah dijamin dengan security deposi tidak jadi dikirim. Sebab, TALG tidak berhasil memenuhi kewajibannya kepada East Dover sesuai perjanjian jual-beli di antara keduanya.
Namun mantan General Manager Pengadaan Pesawat di MNA itu juga menegaskan, bukan baru sekali ini pesawat yang akan disewa MNA gagal dikirimkan. Ia membeberkan ada dua kasus gagal kirim pesawat di tahun 2006, di saat MNA sudah memiliki letter of intent (LoI) dan telah mengirim security deposit.
Kasus pertama saat Merpati memesan Boeing 737-400 dari Malaysia Air System. Namun perusahaan rekanan MNA itu tak bisa mengirimkan pesawat yang sudah dipesan. "Tapi uangnya (security deposit,red) dikembalikan," kata Tony.
kasus kedua adalah saat MNA mengikat perjanjian pengadaan pesawat dengan Ansett Worldwide Aviation Services (AWAS) pada Juni 2006. "Dua minggu kemudian Board Director AWAS tidak berniat melanjutkan dengan Merpati karena kondisi keuangan Merpati, sehingga mengembalikan security deposit itu," ungkapnya.
Karenanya Tony menyebut Hotasi sempat kesal saat tahu TALG tak mengirim pesawat dan tak mau mengembalikan security deposit USD 1 juta. "Saya melihat Hotasi kesal dan mengirimkan surat ke BUMN untuk menunjukkan fakta yang ada," bebernya.
Dituturkannya pula, sebenarnya bukan hanya TALG saja perusahaan penyewaan pesawat (lessor) yang tak punya pesawat. Sebelumnya Merpati juga mendapat pesawat dari lessor yang bukan pemilik pesawat. "Ada Futura Airlines di Spanyol, ada Montrose di AS, Singapore Technology, dan JetScape," ucap Tony.
Diberitakan sebelumnya, JPU Kejagung mendakwa Hotasi dan Tony telah korupsi USD 1 juta terkait penyewaan dua unit pesawat dari TALG yang berbasis di Washington DC pada 2006. Saat perjanjian dengan TALG diteken, Hotasi adalah Dirut, sementara Tony adalah manajer pengadaan pesawat. Keduanya diperkarakan karena Merpati telah mengeluarkan dana USD 1 juta namun TALG tak mengirimkan pesawat sesuai pesanan. MNA akhirnya menggugat TALG dan dimenangkan oleh pengadilan District Court of Columbia di Washington DC pada Juli 2007.(ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Disertasi Cumlaude, Patrialis Sabet Gelar Doktor
Redaktur : Tim Redaksi