JAKARTA - Keberadaan kumbang Tomcat atau semut Semai (Paederus Littoralis) kini membuat resah. Meskipun Tomcat ditemukan di mana-mana, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) belum menetapkan ada wabah penyakit karena Tomcat. Selain itu, belum dideteksi ada migrasi Tomcat dari satu daerah ke daerah lainnya.
Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber dari Binatang Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2-PL) Kemenkes Rita Kusriastuti di Jakarta, Jumat (23/3), menegaskan, kumbang Tomcat adalah hewan yang sudah cukup lama ada di Indonesia. Dia mengatakan, habitat utama Tomcat adalah di area persawahan. Terutama di sawah yang ditanami padi dan jagung.
"Jadi hampir bisa dipastikan di daerah yang ada sawahnya. Dia itu sahabat petani," katanya.
Rita menyebut demikian karena Tomcat adalah predator wereng yang menjadi musuh bebuyutan petani padi. Rita mengatakan, meskipun Tomcat dan petani sering bertemu, tetapi jarang terjadi kasus kulit petani melepuh gara-gara Tomcat.
Sebab, kata dia, Tomcat itu bukan hewan yang menyengat dan menggigit. Rita menjelaskan, penyakit kulit melepuh terjadi karena cairan atau toksi dari Tomcat yang disebut Paederin. Dia menegaskan, cairan ini tidak akan keluar begitu saja. "Bukan seperti lebah yang menyengat lalu memasukkan cairan ke tubuh," katanya. Tidak juga seperti nyamuk yang menggigit lalu memasukkan cairan ke tubuh manusia.
Rita menuturkan, cairan Tomcat ini keluar ketika hewan berkaki enam itu terancam. Cairan itu keluar jika Tomcat ditabok atau dibunuh. Untuk itu, Rita meminta masyarakat yang dihinggapi Tomcat cukup menyentil saja. Dengan demikian, hewan yang masuk keluarga besar kumbang (Staphylinidae) tidak sampai mengeluarkan cairan.
Rita juga menjelaskan, masyarakat tidak perlu cemas terkait ada dugaan penyebaran Tomcat. Dia menegaskan, Tomcat sulit menyebar karena jarak jangkau migrasinya tidak terlalu panjang. Berbeda dengan nyamuk atau lalat.
Terkait penemuan Tomcat di sejumlah daerah, dia menegaskan kembali karena di daerah itu sudah ada Tomcat sejak dulu. "Sekarang masyarakat sedang care dengan Tomcat, jadi mencari-cari. Jadi ditemukan di beberapa lokasi," kata dia.
Sebelumnya, animo masyarakat terhadap Tomcat ini kurang jadi keberadaannya tidak terendus. Menurut Rita, kasus Tomcat di Surabaya yang hinggap di perumahan bisa jadi karena habitat aslinya yaitu sawah telah rusak. Misalnya rusak karena dipanen atau habis karena beralih fungsi jadi perumahan.
Di tengah kebingungan itu, Tomcat lantas bermigrasi ke pemukiman di sekitar persawahan. Migrasi ini dipicu kecenderungan Tomcat yang suka atau gemar mendekati sumber cahaya di malam hari seperti lampu. Kecenderungan ini juga dialami hampir semua kumbang-kumbang yang habitatnya di sawah.
Kasus Tomcat ini, jelas Rita, juga dipicu iklim. Dia menjelaskan, musim penghujan yang mulai reda seperti saat ini merupakan musim yang cocok dalam siklus perkembangbiakan Tomcat. Dia menuturkan, kondisi tanah yang banyak air menjadi tempat ideal Tomcat bertelur.
Siklus Tomcat ini diprediksi akan menyusut saat memasuki musim kemarau nanti. Diperkirakan, puncak perkembangbiakan Tomcat ini sampai akhir bulan ini. Selanjutnya, secara alamiah jumlah Tomcat akan menyusut dengan sendirinya.
Meskipun menetapkan belum ada wabah penyakit akibat Tomcat dan tidak ada migrasi Tomcat, Kemenkes tetap mengantisipasi. Caranya, tim kesehatan mulai dari tingkat Puskesmas sudah bisa menjadi jujukan masyarakat yang terkena cairan Tomcat.
Rita menyebutkan, penyakit akibat cairan Tomcat ini bisa sembuh dengan sendirinya dalam kurun waktu empat hari. "Memang ada rasa perih. Tapi jangan digaruk, biarkan saja nanti kering," ujarnya. Dia juga mengatakan, penyakit akibat cairan Tomcat ini berbeda dengan herpes, meskipun gejala dan luka yang ditimbulkan mirip. (wan)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 333 Napi Kantongi Remisi Saat Nyepi
Redaktur : Tim Redaksi