Minta Jokowi Batalkan Amendemen UU Advokat 2003

Rabu, 23 Juli 2014 – 20:11 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Pakar hukum dan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) meminta presiden terpilih, Joko Widodo untuk membatalkan amendemen UU nomer 18 tahun 2003 tentang advokat.

Ketua Umum Peradi Otto Hasibuan mengatakan amendemen UU akan menumbuhkan banyak organisasi advokat di Indonesia yang menyebabkan tidak adanya kontrol yang ketat terhadap para pembela hukum tersebut.

BACA JUGA: Lima Tahun di DPR, Marzuki Bersyukur Tak Sekolah di KPK

"Jika pembahasan amendemen terus dilaksanakan maka bisa menyebabkan semakin sulit mengontrol praktik pengacara di Indonesia karena tidak adanya standarisasi kualitas advokat. Contoh organisasi pengacara A menentukan standar kelulusan bagi calon pengacara saat test adalah 8. Sedangkan organisasi pengacara B menentukan standarisasi kelulusan 6, maka calon pengacara untuk bisa praktik dan mendapatkan lisensi jika tidak lulus di organisasi A akan beralih ke organisasi B. Ini kan bagaimana kualitasnya, belum lagi praktik nakal jika dia dihukum di A maka dia akan pindah ke organisasi B. Jelas ini merugikan masyarakat," tegas Otto Hasibuan dalam seminar membedah Revisi UU Advocat di UI, Rabu (23/7).

Otto menjelaskan aturan single bar atau organisasi tunggal untuk menaungi para pengacara di Indonesia akan memudahkan pemberian sanksi bagi pengacara yang merugikan masyarakat.

BACA JUGA: Mantan Pejabat Kemenlu Divonis 2 Tahun 6 Bulan Penjara

"Contoh saat ini banyak anggota Peradi yang telah dicabut izin praktiknya sebagai pengacara karena telah berbuat merugikan masyarakat alias melakukan pemerasan," tegas Otto.

Salah satu yang juga ditentang oleh kalangan akademisi dan Peradi adalah keberadaan dewan advokat yang dipilih oleh DPR atas usulan pemerintah sebagaimana dalam pasal 43-44 Revisi UU Advokat.

BACA JUGA: Marzuki Pastikan Partai SBY tetap Oposisi

Menurut Otto keberadaan dewan itu bisa menimbulkan konflik kepentingan dan hilangnya independensi pangacara.

"Keberadaan Dewan Advokat ini akan menyeret para pengacara masuk dalam ranah politik. Hal ini menyebabkan anggota dewan advokat akan takut melawan pertai politik dan pemerintah jika terjadi perkara yang merugikan masyarakat dan berhadapan dengan parpol dan pemerintah," tegas Otto.

Keberadaan dewan advokat juga rentan disalahgunakan oleh partai politik, karena keberpihakan mereka kepada parpol yang telah memilihnya.

Organisasi Advokat, kata Otto di seluruh dunia merupakan organisasi yang independen dan tidak terpengaruh dengan suasana politik di negara mereka masing-masing.

Hal senada juga diungkapkan Pakar Hukum UI Hikmahanto Juwana. Menurutnya, keberadaan organisasi advokat yang banyak akan menimbulkan praktik yang tidak sehat di dunia pengacara di Indonesia.

"Single Bar atau wadah tunggal organisasi advokat akan memudahkan proses audit dan pengawasan yang ketat terhadap praktik pengacara di Indonesia. Hal itu bisa menguntungkan masyarakat dalam mencari keadilan," tegas Hikmahanto.

Menurut dia, UU Advokat tahun 2003 masih relevan dengan sistem hukum Indonesia hingga saat ini dan tidak perlu adanya pergantian. Namun, dia juga mengingatkan jika ada pertikaian di internal organisasi advokat sebaiknya diselesaikan secara internal sehingga independensi penegak hukum ini bisa dijaga dari intervensi.

"Kita berharap pemerintah yang baru nanti bisa melihat hal ini. Kalaupun ada penyesuaian dalam UU itu adalah cukup pasal-pasal yang telah diputuskan MK saja dan tidak perlu amendemen keseluruhan," pungkas Hikmahanto. (adk/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... KAI Siapkan 5 KA Tambahan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler