jpnn.com, JAKARTA - Aksi lone wolf (tindakan teror seorang diri dan di luar struktur komando apapun) dikhawatirkan menjadi tren terorisme ke depan.
Menurut Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia (JMI) Islah Bahrawi, jika yang diperkuat hanya sektor hilir atau penindakan aparat penegak hukum, maka aksi teror itu dipastikan tidak akan berhenti.
BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Telegram Kapolri Bikin Ribut, Jangan Diganggu, Tolong Perhatikan Peringatan
Dia mengatakan untuk mencegah terulangnya aksi teror, pemerintah dan stakeholders terkait perlu memperkuat sektor hulu.
Sektor hulu yaitu memperbesar resistensi masyarakat harus terhadap radikalisme, khususnya dari keluarga. Masyarakat harus menyadari agama mengajarkan kemanusiaan dan kedamaian.
BACA JUGA: Teroris Mengaku Bagian dari FPI, Polri: Sudah Bukan Rahasia Lagi
Dia mencontohkan di Thailand Selatan dan Srilanka yang berhasil membuat kultur dan budaya masyarakat tegas menolak radikalisme.
"Keluarga sangat penting (perannya) di sini, karena anak mencontoh orang tuanya. Ini beberapa konsep yang sudah dilakukan di beberapa negara,” tutur Islah dalam dalam Alinea Forum bertajuk 'Memperkuat Kontra Radikalisme' pada Rabu (7/4).
BACA JUGA: Nama FPI dan Munarman Kembali Dikaitkan dengan Terorisme, Aziz Yanuar Murka
Dia mengakui penguatan resistensi terhadap radikalisme yang terkultur dalam masyarakat Indonesia tak bisa dicapai secara instan.
Membutuhkan waktu lama, langkah komprehensif, dan masif. Dia mengingatkan radikalisme tidak hanya terjadi pada agama tertentu, tetapi lintas agama dan ideologi.
“Agama Islam, Kristen, hingga kapitalisme dan komunisme kalau berbasis intoleransi, tentu akan mencetak radikalisme ataupun ekstremis,” ujar Islah.
Sementara itu, mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai setuju dengan gagasan itu.
Dia mengajak masyarakat untuk bersatu melawan gerakan radikalisme yang menyusup melalui gerakan ormas dan politik. Salah satu caranya dengan menutup ruang ormas yang terafiliasi gerakan radikal.
"Jangan beri kesempatan mereka muncul, karena ini yang kemudian menyebar sehingga orang semakin tebal kebenciannya kepada pemerintah. Bahkan sampai mau bunuh diri," katanya.
Dia juga mendorong pemerintah untuk bekerja sama dengan para ulama untuk meluruskan paham radikalisme tersebut.
Selain itu, dia meminta negara untuk bersikap lebih tegas. Jika tidak, maka akan sulit menumpas terorisme di Indonesia.
"Kita tidak boleh takut. Tidak boleh terintimidasi. Kita muslim tentu tidak ingin agama dilabeli seperti ini. Jadi kita harus jadikan ini musuh bersama. Mari bersatu melawan ini," tegasnya.
Sementara mantan narapidana terorisme Mukhtar Khairi mengaku fenomena anak-anak muda banyak terpapar radikalisme karena mereka tidak memiliki pemahaman agama secara menyeluruh.
Biasanya anak-anak muda ini belajar agama hanya melalui internet (sosial media).
“Fenomena saat ini banyak anak muda yang kaget agama,” tutur Mukhtar.
Dampak negatifnya, kaum milenial bisa dengan cepat memahami materi mengenai terorisme yang tersebar di media sosial.
Selain itu, dia khawatir kaum milenial bisa mengembangkan media sosial untuk menyebarkan paham radikal, sekaligus menyebarluaskan sejumlah ajaran pembuatan bom hingga penyerangan.
Oleh sebab itu, kata Mukhtar, pemerintah diminta lebih serius dalam menumpas radikalisme ideologi.
Dia menegaskan radikalisme ideologi lebih berbahaya dibandingkan fisik. Menurutnya, pemerintah harus bersinergi dengan para ulama untuk meluruskan paham-paham yang keliru. (flo/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : Natalia