Minta Skema Power Wheeling Dihapus dari RUU EBT, Wakil Ketua MPR: Saya Tegas Menolak

Kamis, 12 Januari 2023 – 16:41 WIB
Kebijakan dan program pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Foto tangkapan layar

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan mendesak pemerintah dan DPR untuk menghapuskan skema Power Wheeling dalam Rancangan Undang Undang Energi Baru Terbarukan (EBT).

Pasalnya, skema tersebut malah akan meliberalisasi sektor kelistrikan yang justru bakal merugikan negara.

BACA JUGA: PLN Kelola 2.06 Juta Ton Limbah Batu Bara, Ini Hasilnya

Skema power wheeling merupakan pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik.

Dengan skema ini, produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) bisa menjual listrik langsung kepada masyarakat dengan jaringan transmisi dan distribusi yang dimiliki dan dioperasikan PLN.

BACA JUGA: Santri Dukung Ganjar Beri Karpet hingga Sembako ke Majelis Taklim di Pesanggrahan

"Saya dengan tegas menolak skema power wheeling masuk RUU EBT. Sebab jika klausul tersebut diloloskan, ini sama dengan liberalisasi sektor kelistrikan yang bertentangan dengan UUD 1945. Sebab listrik merupakan kebutuhan dasar rakyat yang harusnya dikuasai oleh negara," terang Syarief.

Tak hanya itu, dengan adanya skema tersebut, aset yang semestinya bisa dimaksimalkan oleh negara malah justru harus berbagi dengan swasta.

BACA JUGA: BRI Life Gelar Rakernas: Tumbuh Berkelanjutan, Tangguh Mengeksekusi

Hal ini menurut Syarief akan memberatkan PLN sebagai operator.

PLN merupakan BUMN yang selama ini lini bisnis utamanya adalah penjualan listrik dari investasi pembangunan infrastruktur.

Dengan adanya skema tersebut, infrastruktur yang dibangun oleh PLN memakai investasi internal maupun Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) malah justru dinikmati oleh swasta.

"PLN juga akan kehilangan pasarnya karena swasta bisa langsung menjual listriknya ke masyarakat," ungkap politikus Partai Demokrat ini.

Padahal, saat ini tantangan PLN adalah mengatasi oversupply. Jika skema power wheeling diterapkan, maka akan makin memperlebar oversupply.

Tak hanya kehilangan pangsa pasar, dampak dari oversupply PLN harus membayar Take or Pay, di mana selama ini TOP disubsidi oleh pemerintah.

Ini akan semakin membuat beban APBN menjadi lebih besar.

Di satu sisi, dengan kehilangan pasar, maka pendapatan PLN akan berkurang yang berdampak pada penerimaan negara berupa deviden, setoran pajak maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

"Meski berhasil diterapkan di negara lain, saya menilai skema ini belum tentu cocok diterapkan di Indonesia. Saya melihat lebih banyak mudaratnya jika kebijakan ini diterapkan di Indonesia," tegas Syarief.(chi/jpnn)


Redaktur & Reporter : Yessy Artada

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler