jpnn.com, KUNINGAN - jpnn.com - Kondisi gedung Sekolah Dasar Negeri (SDN) 7 Purwawinangun, Kecamatan Kuningan, Kabupaten Kuningan, Jabar, sungguh menyedihkan.
Puluhan anak kelas II di sekolah tersebut terpaksa harus melaksanakan kegiatan belajar di ruangan sempit bekas rumah dinas penjaga sekolah.
BACA JUGA: Satu Kelas Dibatasi 28 Siswa, Dampaknya...
Dari pantauan Radar Kuningan (Jawa Pos Group), selain sempit dan apa adanya, bangunan bekas rumah dinas itu juga atapnya hanya ditutupi terpal plastik warna biru. Tak ada jendela atau pintu untuk masuk ke ruangan tersebut.
Di dalam ruangan sempit dan kumuh, berjejer meja serta kursi bagi para siswa yang akan belajar. Sebuah papan tulis digantung di dinding.
Tak ada gambar para pahlawan maupun aksesoris lainnya layaknya sebuah kelas.
“Jika hujan turun, siswa terpaksa langsung kami pulangkan karena takut kehujanan,” tutur Hj Eliyah, Kepala SDN 7 Purwawinangun kepada Radar Kuningan, kemarin (9/3).
Kurangnya ruang belajar memaksa pengelola sekolah untuk memanfaatkan eks rumah dinas yang sudah tidak digunakan.
Sebelumnya, para siswa juga pernah belajar di teras karena tidak ada ruang kelas.
Lantaran tidak ingin para siswanya tidak nyaman dalam belajar, akhirnya disepakati untuk memakai rumah dinas.
“Saya kemudian melakukan komunikasi dengan komite sekolah menyangkut kondisi bangunan eks rumah dinas. Atas urunan dari orang tua murid, akhirnya atap bangunan dibongkar. Lalu kuda-kuda bagian atasnya diganti dengan yang baru,” ujarnya.
Eliyah didampingi guru kelas II, Ida Jubaedah dan Giri menuturkan, kondisi ruang kelas di sekolahnya sebenarnya sudah diketahui oleh Bupati H Acep Purnama.
Eli, panggilan akrabnya, masih ingat saat itu di halaman sekolahnya ada kegiatan 17 Agustusan yang digelar warga dan dihadiri bupati.
Kesempatan itu digunakan Eli untuk menyampaikan kondisi ruang kelas di sekolahnya yang masih kurang satu.
“Pak bupati merespon dan menjanjikan akan segera melakukan perbaikan. Itu bulan Agustus tahun lalu. Malah pak bupati menyuruh kepada Pak Uha untuk segera mengajukan perbaikan,” terang dia.
Uha juga menyuruh dirinya untuk tidak lagi meminta bantuan dari orang tua siswa, karena bangunan tersebut akan segera diperbaiki.
Malahan uang yang sudah terkumpul disarankan untuk dikembalikan lagi.
“Pak Uha meminta agar proses perbaikan bekas rumdin oleh warga agar tidak dilanjutkan, karena akan diajukan perbaikannya. Akhirnya kami nurut dengan permintaan Pak Uha. Tapi sampai sekarang belum ada kesejalasan kapan bangunan ini akan segera diperbaiki. Dan Pak Uha juga tidak melakukan kontak lagi sampai sekarang,” sebut Eliyah.
Selain kekurangan ruang belajar, lanjut dia, kondisi dua ruangan juga sudah memprihatinkan. Bagian atapanya sudah keropos sehingga penjaga sekolah tidak berani naik ke genting karena takut roboh.
Begitu juga lantai di dua kelas yang ada, masih dari tegel belum dikeramik.
“Bagian luarnya terpaksa kami sangga menggunakan bambu, soalnya takut ambruk. Kami sih berharap agar janji Pak Bupati bisa diwujudkan. Kasihan anak-anak belajar di bawah terpal, dan ruang kelasnya tidak ada jendela. Sebenarnya ruangan yang dipakai tidak layak, tapi ya mau bagaiamana lagi,” keluh dia.
Ida menambahkan, dia dan guru lainnya sebenarnya tidak tega melihat para siswanya belajar di ruangan yang tidak layak.
Tapi karena anak-anak harus tetap mendapat pengajaran, dia tetap mengajar meski tahu kondisi ruang kelasnya tidak nyaman bagi para siswa.
“Akang lihat sendiri, bagaiamana anak-anak ini belajar. Tak ada sekat dan jendela bangunannya juga sudah tidak ada. Juga sudah tidak ada pintunya. Kalau hujan, langsung airnya sawer ke dalam. Kasihan anak-anak jika hujan turun, bajunya sampai basah,” tutur Ida dengan suara agak parau. (ags)
Redaktur & Reporter : Soetomo