jpnn.com, GARUT - Siti Rokayah, seorang ibu berusia 83 tahun warga Garut, Jawa Barat, digugat anak dan menantunya.
Wanita renta yang memiliki 13 orang anak itu digugat Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Garut dengan tuntutan ganti rugi mencapai Rp 1,8 miliar.
BACA JUGA: Lima Duta Besar Terpesona Gebyar Budaya Garut
Adanya gugatan terhadap Siti Rokayah dari anak ke-9, Yani Suryani dan menantunya, sontak membuat geram dan disesalkan anggota keluarga lainnya.
Salah seorang anak Siti Rokayah, Eep Rusdiana (49), mengaku kecewa dengan adanya gugatan yang dilakukan oleh kakak kandungnya sendiri, Yani Suryani.
Eep mengungkapkan bila gugatan yang dilakukan Yani beserta suaminya, Handoyo Adianto, berawal dari persoalan utang yang dialami oleh saudara mereka di salah satu bank BUMN.
"Perlu saya luruskan, awalnya ibu saya tidak memiliki utang. Masalah ini bermula ketika Asep Ruhendi yang juga masih kakak kandung saya, mengalami kredit macet di Bank BRI Cabang Garut, dengan jatuh tempo pada 31 Januari 2001, nilainya kurang lebih 40 juta rupiah," ujar Eep, di PN Garut, kemarin (23/3).
Kemudian, lanjut dia, Handoyo Adianto yang merupakan ipar Asep Ruhendi, menawari bantuan pinjaman untuk melunasi utang tersebut.
Syaratnya adalah SHM tanah dan bangunan milik Siti Rokayah, ibu dari Asep Ruhendi, di Garut Kota, dibalikanamakan atas nama Handoyo Adianto.
"Balik nama SHM ini ditolak oleh keluarga. Namun pada akhirnya, Handoyo itu tetap membantu membayarkan utang kakak saya yang bernama Asep Ruhendi tersebut. Teknis pemberian pinjamannya tidak secara rinci dituangkan dalam perjanjian yang hanya diketahui oleh ibu saya, beserta kedua kakak saya, Asep dan Yani. Dengan disampaikan secara lisan, yaitu sebesar 50 persen diberikan secara transfer dan sisanya disetorkan langsung oleh Yani, dengan tujuan agar SHM ibu saya bisa disimpan Yani sebagai jaminan," ujarnya.
Dalam perkembangannya, lanjut Eep, kakak iparnya tersebut hanya membayarkan transfer Rp21,5 juta, sementara sisanya tak pernah dilunasi.
"Yang melunasi sisanya adalah masih dari keluarga kami. Itu pun dilakukan pada 6 Mei 2004, ke Bank BRI sebesar Rp22,5 juta seperti yang tertera dalam tanda bukti setor ke bank. Jadi sebenarnya utang kakak saya Asep Ruhendi ke Handoyo itu hanya sebesar Rp21,5 juta sesuai nilai transfer," jelasnya.
Persoalan utang tersebut, kata Eep, sempat mereda dan tak pernah dibahas selama bertahun-tahun.
Hingga akhirnya, pada Oktober 2016 lalu, Yani datang dari Jakarta ke Garut membujuk Siti Rokayah untuk menandatangani surat pengakuan berhutang yang dibuat bersama suaminya.
"Saya menilai penuh rekayasa. Mereka (Yani dan Handoyo) memaksa agar ibu saya menandatangani surat pengakuan utang, yang nilainya dalam surat itu sebesar 41,5 juta rupiah. Padahal seperti diketahui, utang kakak saya ke Handoyo hanya setengahnya karena hanya mendapat transfer 21,5 juta rupiah. Menurut versi mereka, pinjaman sisanya telah dibayarkan secara tunai, sementara baik kakak dan ibu saya sama sekali tidak pernah menerimanya," paparnya.
Di luar sepengetahuan keluarga, Siti Rokayah kemudian menandatangani surat pengakuan berhutang tersebut, tanpa memahami dampak yang akan terjadi.
Menurut Eep, ibunya itu terpaksa mengakui memiliki utang karena dibujuk oleh Yani.
"Dari penjelasan ibu, ia merasa iba dan khawatir kepada Yani. Sebab bila surat pengakuan berhutang itu tidak ditandatangani, maka Yani akan dicerai oleh suaminya. Bahkan saya dan seorang saudara yang lain harus turut menandatangani surat pengakuan berhutang tertanggal 8 Oktober 2016 itu sebagai saksi. Kami semua pada akhirnya menandatangani, karena khawatir Yani dicerai. Namun belakangan, kami baru tahu jika niat menolong itu malah dimanfaatkan dengan adanya gugatan ini," jelasnya.
Dalam surat berhutang yang disiapkan Yani dan Handoyo tersebut, tertulis Siti Rokayah pada 6 Februari 2001 telah berhutang senilai 501,5 gram emas murni, dan telah melewati batas waktu kewajiban pelunasan yang dijanjikan, yaitu dua tahun dari tanggal pemberian utang.
Nilai utang saat itu adalah Rp40.274.904, yang disepakati setara dengan harga emas murni pada 2001 silam sebesar Rp80,200 per gram.
"Di pengadilan ini, Yani dan Handoyo menuntut kerugian materil nilai emas seberat 501,5 gram, yang dikonversikan dengan nilai saat ini adalah Rp640.352.000, dan kerugian imateril sebesar Rp1,2 miliar. Sehingga total yang dituntut itu kurang lebih sebesar Rp1,8 miliar," ujarnya, seperti diberitakan Radar Tasikmalaya (Jawa Pos Group).
Jalannya sidang diketuai Majelis Hakim Endratno Rajamai, dengan agenda pemaparan bukti dari penggugat dan tergugat.
Sidang kemarin merupakan kali ke-enam dengan agenda pembelaan dari pihak tergugat.
Sementara kemarin siang, penggugat tidak nampak hadir di ruang persidangan. Untuk sidang lanjutan, diagendakan pada Kamis depan. (erf)
Redaktur & Reporter : Soetomo