Misbakhun: Konsumsi Rumah Tangga dan Investasi Jadi Kunci Menaikkan Ekonomi

Kamis, 06 Agustus 2020 – 19:04 WIB
Mukhamad Misbakhun. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengatakan, konsumsi rumah tangga adalah kunci supaya Indonesia terlepas dari jerat pertumbuhan ekonomi atau product domestic bruto (PDB). Terlebih lagi, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat PBD Kuartal II 2020 mengalami kontraksi atau -5,32 persen.

Misbakhun mengatakan pemerintah harus memastikan program pemulihan ekonomi nasional (PEN) sejalan dengan kondisi riil kebutuhan di lapangan.

BACA JUGA: Ekonomi Jatuh Minus 5,32 Persen, Begini Respons Jokowi

Berbicara dalam diskusi "Ancaman Resesi Ekonomi dan Solusinya", di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (6/8), Misbakhun mengingatkan kebijakan harus kembali kepada dengan fakta dan data yang ada.

Berdasar data BPS yang dipublikasikan kemarin (5/8), faktor utama yang menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi adalah menurunnya konsumsi rumah tangga.

BACA JUGA: Kisah Warga Indonesia Bertahan dalam Badai Ekonomi Akibat Lockdown di Melbourne

Dari struktur penyusun PDB, 57 persennya adalah konsumsi rumah tangga. Terbukti, kata dia, seperti disampaikan BPS, penurunan konsumsi rumah tangga 5,51 persen pada Triwulan II 2020 menjadi salah satu penyebab utama menurunnya PDB -5,32 persen.

Pemerintah memang telah mengeluarkan program bantuan sosial kepada masyarakat dalam bentuk Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan pangan. Namun data terbaru BPS membuktikan hal itu tidak cukup. Sebab program tersebut hanya membantu kalangan sangat miskin saja, padahal masyarakat terdiri dari berbagai kelompok sosial ekonomi.

BACA JUGA: Catatan BPS: Hampir Seluruh Sektor Usaha Terkontraksi, Ekonomi Nasional Minus Lagi

"Ada pembebasan listrik, PPh dan sebagainya, ini kan untuk kelompok pekerja tertentu yang tidak menyangkut keseluruhan. Mana untuk kelompok kelas menengah rentan yang berpenghasilan antara Rp 5 juta, Rp 10 juta, Rp 15 juta, Rp 20 juta ini? Sementara tidak ada program pemerintah yang berkaitan dan membantu mereka," kata Misbakhun.

Politikus Partai Golkar itu mengaku sudah sejak awal memberikan usulan kepada pemerintah. Misalnya, soal tarif listrik yang perlu dibebaskan. Jangan cuma berhenti di pelanggan 450 VA dan 900 VA. Konsumsi rumah tangga akan meningkat bila dibebaskan hingga pelanggan 1300 VA, 1600 VA bahkan 2300 VA.

"Kalau perlu pemerintah bukan membebaskan, tetapi juga dibiayai oleh negara. Termasuk semua cicilan motor, semua cicilan perumahan FLPP, sampai rumah yang bernilai Rp 600 juta. Kalau perlu kemudian siapa yang punya cicilan mobil yang nilainya dibawah Rp 350 juta dibayarkan oleh negara," ungkap Misbakhun.

Ia melanjutkan hal kedua yang menyebabkan penurunan PDB setelah konsumsi rumah tangga ialah jumlah investasi. Padahal dengan investasi, modal akan masuk, tercipta lapangan pekerjaan baru. Dan dengan lapangan pekerjaan baru pemerintah akan bisa mendapatkan pendapatan pajak.

"Rakyat yang menjadi pekerja akan mempunyai daya beli, negara mempunyai kemampuan memungut pajak, dan kemudian terjadi peningkatan penerimaan negara dari sisi perpajakan yang dilakukan oleh investasi yang baru," ulasnya.

Intinya, ia menegaskan pemerintah harus bersedia mengakui kondisi kesulitan ekonomi yang terjadi di lapangan. Harus diakui bahwa program sembako murah dan bantuan tunai yang terbatas itu belum bisa menjadi penyelamat pertumbuhan ekonomi negatif.

Maka itu, ia menegaskan, pemerintah harus mulai mendetailkan program, yang harus dipastikan terarah, fokus, dan menjadi alat navigasi pemberi solusi. Selama ini yang terjadi adalah kesenjangan antara kebijakan dengan fakta lapangan. Sebagai contoh, pemerintah mengajukan dana PEN, disebut program untuk korporasi sebesar Rp 53 triliun. Masalahnya, penerima dana itu hanyalah badan usaha milik negara (BUMN).

"Penyelamatan korporasi swasta yang selama ini menjadi salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi, itu tidak ada. Jadi pada situasi seperti ini, negara berpikir untuk menyelamatkan apa? Menyelamatkan BUMN, yang berkaitan dengan sektor riil dan menyelamatkan BUMN yang berkaitan dengan sektor keuangan. Swasta yang juga rakyat tidak," bebernya.

Jadi, Misbakhun melihat ada kesenjangan antara program PEN dengan realitas permasalahan. "Ini kan sering tidak nyambung," pungkas Misbakhun.

Anggota Komisi XI DPR Fraksi PKS Ecky Awal Muharram menambahkan melihat bagaimana pemerintah sangat lamban dalam membelanjakan anggaran, maka wajar bila terjadi pertumbuhan negatif yang dipicu penurunan konsumsi rumah tangga. Padahal DPR sendiri sudah menyediakan semacam 'jalan tol' bagi pemerintah dalam membuat kebijakan untuk penyelamatan ekonomi akibat dampak pandemi Covid-19.

"Kalau kita lihat misalnya, sekarang konsumsi pemerintah saja minus 6,9 persen, ini artinya harus diakui secara makro, pemerintah belum bisa memanfaatkan belanjanya kecuali belanja sosial," kata Ecky dalam kesempatan itu.

Bagi Ecky, pertumbuhan negatif tersebut makin menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah belum direspons secara positif oleh masyarakat dan pasar. Artinya, insentif fiskal, belanja perpajakan, dan lain-lain, belum bisa mendorong perbaikan ekonomi nasional.

"Saya  berharap mudah-mudahan pada pada triwulan yang ketiga, pemerintah mengoreksi kebijakannya. Juga kami harapkan bahwa belanja pemerintah lebih fokus mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Ecky. (boy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler