jpnn.com - Salah seorang penemu Intan Trisakti sebesar 166,75 karat, H Salman Junaid, menganggap sekarang saatnya yang tepat menagih janji pemerintah. Dia dan dua orang penambang Trisakti, menggugat pemerintah Rp 10 triliun.
---
BACA JUGA: Alasan Penemu Intan Trisakti Gugat Pemerintah Rp 10 Triliun
Salman Junaid masih remaja saat itu, 16 tahun. Saat itu dia bersama penambang lainnya sejumlah 25 orang menemukan intan itu pada tanggal 26 Agustus 1965.
Kelompok pendulang intan yang diketuai oleh Matsan menemukan sebuah intan cukup besar, seukuran telur burung merpati, di lokasinya Sungai Tiung, Kecamatan Cempaka, Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
BACA JUGA: Penemu Intan Trisakti Gugat Pemerintah Indonesia Rp 10 Triliun
Seketika penemuan itu heboh. Intan itu kemudian dibawa ke Jakarta oleh pemerintah Kabupaten Banjar untuk dipersembahkan ke Presiden Soekarno. Para penambang sendiri mendapat imbalan.
"Saya ingat uang pembagian Rp 200 juta itu dibuat selamatan, lalu dibagi kepada kami. Saya waktu itu dapat uang sekitar Rp 4,5 juta per orang. Sisanya untuk pemotongan ongkos ke Jakarta, dan dibagi kepada Pemerintah Kabupaten," ungkapnya.
Saat ditemui dirumahnya di Jalan Sasaran Keraton Martapura Kabupaten Banjar, kondisinya masih gagah, walaupun umurnya sudah lebih dari 60 tahun.
Awalnya Salman sempat ragu- ragu untuk bercerita kepada Radar Banjarmasin (Jawa Pos Group), menyoal gugatan tersebut.
Jika mengenang lagi, dia mengatakan imbalan itu masih jauh dari harga intan yang diprediksi saat itu capai Rp10 Triliun. Tapi, pemerintah menurutnya kala itu mengatakan bahwa itu hanya uang panjar.
Nantinya pemerintah akan membayarkan sisa harga Intan Trisakti setelah adanya nilai harga yang ditentukan. Setelah Pemerintah RI mendapat keterangan dari para ahli dalam dan luar negeri.
"Kami diberangkatkan haji oleh Pemerintah. Tidak lama berselang pecah kejadian G30S PKI, dan perpindahan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto," ungkapnya.
Dia mengaku setelah beberapa waktu gejolak di dalam negeri terkait G30S PKI dan perpindahan kekuasaan itulah terjadi Inflasi. Uang harus dipotong (saneering). Uang Rp 10 ribu jadi Rp1.000, dan seterusnya. Sehingga uang pembagian dari pembayaran panjar Intan Trisakri, menurun nilainya. Dus, tidak banyak mengubah kehidupan ekonomi mereka.
"Setelah dapat uang itu saya sempat jadikan modal berdagang baju, tapi tidak terlalu ramai. Lalu saya bekerja di Pabrik Kayu di Kalteng sampai punya istri dan anak. Sempat juga kembali bekerja di tambang Galuh cempaka, dan beberapa tahun lalu berjualan di lapak Pasar Ulin Raya," ungkapnya.
Tapi setelah sang istri menderita stroke di awal tahun 2017 lalu, dirinya kini hanya di rumah merawat sang istri. Nasib buruk bahkan membayanginya.
Sebelumnya dirinya juga sempat diamankan pihak Kepolisian saat menambang emas bersama temannya di Pamaton Kabupaten Banjar.
"Saya sempat ditahan di kantor polisi. Kata polisi di sana kami salah, karena menambang di areal hutan lindung. Saya namanya orang kampung, tidak mengetahui hal itu. Saya berkata jujur saja, dan akhirnya keesokan harinya saya dibolehkan pulang," ungkapnya.
Dia mengatakan tetap teringat dengan intan yang menjadi hak para penambang itu.
"Kami sudah berjuang berpuluh- puluh tahun untuk menanyakan hak kami ini. Dari Kepala lubang tambang kami, H Matsan masih hidup, sampai saat ini. Dari zaman Presiden Soekarno, Soeharto, SBY, sampai Presiden Jokowi belum ada kejelasan," ungkap kakek 8 cucu ini.
Akhirnya diawal tahun 2017, pihaknya membawa masalah ini ke ranah hukum, dengan gugatan perdata ke Pemerintah RI melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Sampai saat ini kami tidak pernah tahu lagi dengan keberadaan Intan Trisakti ini, seolah- olah hilang begitu saja. Kami berharap di sidang nanti dimenangkan, dan paling tidak janji pemerintah, terkait sisa pembayaran bisa sampai kepada kami," ungkapnya.
Dia menyebut, penemu Intan Trisakti yang masih hidup antara lain H Hamsi yang kini tinggal di Keramat Baru Martapura, dan H Mukri yang tinggal di Bentok Bati-Bati Tanah Laut.
Dia mengatakan tidak mudah menemukan intan yang saat itu diklaim terbesar di dunia. Dirinya beserta 25 orang lainnya harus keluar masuk ke lubang, dan terowongan yang dalamnya sekitar 20 meter, yang minim oksigen berbulan-bulan. Belum lagi bahaya yang menghantui mereka setiap harinya.
Beruntung selama 6 bulan sampai penemuan Intan Trisakti, tidak ada kejadian yang merengut jiwa penambang. (zay/by/ran)
Redaktur & Reporter : Soetomo