jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Fahri Hamzah merasa kasihan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) setelah melihat video rapat kabinet 18 Juni 2020.
Dalam video itu, Jokowi marah-marah dengan capaian-capaian para pembantunya selama pandemi corona (COVID-19).
BACA JUGA: Fahri Hamzah: Kemarahan Presiden Mewakili Perasaanmu Dinda?
"Saya, terus terang baru melihat presiden marah rada serius (karena tidak pegang teks), meskipun sebenarnya itu, kemarahan yang dipandu dengan teks, saya kasihan juga melihat presiden bisa frustrasi seperti itu," kata Fahri dalam keterangan tertulisnya, Senin (29/6).
Namun, Fahri merasa terdapat hal yang mengganjal dari video marah-marah Jokowi kepada para pembantunya.
BACA JUGA: Soal Reshuffle, Moeldoko Sebut Presiden Jokowi Siap Pertaruhkan Reputasi Politik
Pasalnya, presiden marah sepuluh hari yang lalu. Di sisi lain, laman resmi akun sosial media Sekretariat Negara baru mengunggah video marah-marah Jokowi sepuluh hari setelah kejadian.
"Nyaris sepuluh hari itu tidak ada bocoran sama sekali? Karena sepertinya itu adalah pidato di ruang tertutup yang diikuti oleh pimpinan lembaga-lembaga negara yang merupakan bukan 'anak buahnya' presiden, karena ada Gubernur BI, juga pimpinan-pimpinan lembaga yang afiliat dengan kerja-kerja eksekutif," bebernya.
BACA JUGA: YE Sudah Menolak, Hasrat Remaja Bejat Ini Terlampiaskan, Danau jadi Saksinya
Wakil Ketua DPR RI periode 2014-2019 itu mengatakan, banyak sekali respons tentang cara lembaga kepresidenan dalam mengelola lembaga negara.
Kebetulan dirinya pernah mempelajari dan juga hampir dua puluh tahun terlibat dengan pemerintahan. Pertama-tama, Fahri tidak setuju dengan istilah penggunaan rapat sebenarnya.
Sebab, eksekutif atau presiden itu tidak memerlukan rapat. Presiden mungkin boleh berkonsultasi, tetapi bukan mengadakan rapat.
"Dia (presiden) enggak perlu rapat, karena rakyat yang memilih dan dia sendiri diruang eksekutif itu, dia yang memimpin, apalagi dalam sistem presidential, ini bukan sistem parlementer," ujar dia.
Dalam sistem parlementer, lanjut Fahri, Perdana Menteri sebagai kepala eksekutif kerap rapat dengan anggota parlemen. Pasalnya, PM dipilih oleh koalisi parlemen jadinya disebut dengan parlementarisme.
Sementara itu, kalau eksekutif dalam sistem presidensialisme yang tidak dipilih oleh parlemen atau dipilih langsung oleh rakyat, tidak perlu rapat dan presiden bisa memutuskan sendiri.
"Kalau koordinasi oke, tetapi pada dasarnya meng-entertain istilah rapat di dalam pemerintahan itu menurut saya tidak terlalu perlu, dan buang-buang waktu. Sama juga kalau rapatnya dengan anak buah (menteri). Buat apa? Karena menteri itu, semua dipilih oleh presiden, diajak rapat? Pecat aja kalau enggak oke. Jadi itu sebenarnya. Namun, oke saya menghargai karena presiden menunjukkan sense of crisis dalam situasi seperti ini," ucap dia.
Oleh karena itu, secara terus terang Fahri agak miris melihat presiden sampai menyampaikan semacam kemarahan. Namun, Fahri menganggap itu bukan kemarahan, tetapi semacam frustrasi.
"Padahal, saya sudah sering mengomentari cara seharusnya presiden mengelola lembaga kepresidenan. Tidak boleh presiden itu kelihatan emosi, kelihatan marah, kecewa atau kelihatan putus asa," ujar dia. (mg10/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan