jpnn.com, JAKARTA - Anggota Forum Advokat Pengawal Pancasila (FAPP) Petrus Selestinus mengatakan Mahkamah Konstitusi berwenang mendiskualifikasikan atau menolak Permohonan Perselisihan Hasil Pemilu Presiden-Wakil Presiden 2019 yang diajukan oleh Paslon Nomor Urut 02 Prabowo Subianto -Sandiaga Uno, pada persidangan Pemeriksaan Pendahuluan tanggal 14 Mei 2019.
Alasannya, menurut Petrus Selestinus, karena PHPU yang diajukan dengan 7 (tujuh) Petitum secara alternatif dimaksud, sama sekali tidak menggambarkan secara formal dan materiel substansi sengketa PHPU khususnya tentang "Hasil Penghitungan Suara yang mempengaruhi penentuan terpilihnya Pasangan Calon”. Artinya tidak memuat uraian Penghitungan Suara yang benar menurut Pemohon dengan Penghitungan Suara yang salah yang sudah ditetapkan oleh KPU RI atau Termohon.
BACA JUGA: MK: Sidang Sengketa Pilpres Bisa Selesai Lebih Cepat dari Agenda Awal
BACA JUGA: Respons Hendardi Terhadap Langkah Polri Ungkap Aktor Kerusuhan 21-22 Mei
Menurut Petrus, pada kenyataannya, Paslon Nomor Urut 02 dalam uraian Permohonan PHPU tanggal 24 Mei 2019, justru hanya mengangkat isu-isu pelanggaran yang menurutnya terjadi selama tahapan-tahapan Proses Pemilu 2019 dan meminta agar MK memeriksa dan mengadili dengan putusan yang mengabulkan seluruh Permohonan Pemohon.
BACA JUGA: Serius, KPU Serahkan 272 Kontainer Plastik Berisi Alat Bukti ke Mahkamah Konstitusi
Padahal, UU Pemilu dan UU MK sudah mengatribusikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa Pelanggaran dan Proses Pemilu pada Bawaslu, KPU, GAKUMDU, PTUN dan MA. Sedangkan keberatan terhadap Penetapan Perolehan Hasil Pemilu sepenuhnya menjadi wewenang MK secara ‘dominus litis’.
Menurutnya, Paslon Nomor Urut 02 juga telah mengajukan Permohonan PHPU tanggal 10 Juni 2019, yang berisi "perbaikan" terhadap Permohonan PHPU tertanggal 24 Mei 2019, namun setelah diteliti secara cermat, ternyata format dan substansi PHPU Perbaikan yang diajukan bukan perbaikan terhadap Permohonan PHPU yang telah didaftarkan pada tanggal 24 Mei 2019 yang lalu, melainkan sebuah Permohonan PHPU dalam kemasan yang baru sama sekali, baik uraian tentang Positanya sebanyak 147 halaman (dari sebelumnya hanya 37 halaman) maupun butir-butir Petitumnya sebanyak 15 (lima belas) butir (dari sebelumnya hanya 7 (tujuh) butir.
BACA JUGA: Ulama Ciamis Berharap Sidang Sengketa Pilpres di MK Lancar dan Damai
Lebih lanjut, Petrus mengatakan perbaikan Permohonan PHPU yang diajukan Paslon Nomor Urut 02 pada tanggal 10 Juni 2019, itu pun tanpa penjelasan bagian mana dari butir-butir Permohonan PHPU yang didaftarkan pada tanggal 24 Mei 2019 yang diperbaiki dan butir-butir mana yang tetap dipertahankan. Dengan demikian, format dan substansi Permohonan PHPU versi perbaikan yang diajukan tanggal 10 Juni 2019, harus dinyatakan sebagai Permohonan PHPU baru yang didaftarkan setelah lewat dari batas waktu 3 x 24 jam.
“Paslon Nomor Urut 02 harus dinyatakan "tidak mengajukan Permohonan PHPU yang berisi Keberatan terhadap Penetapan Perolehan Suara Hasil Pemilu oleh KPU yang dianggap salah dan Penghitungan Suara yang benar menurut Pemohon sesuai dengan UU,” tegas Petrus Selestinus.
Petrus yang juga Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) ini mengatakan Permohonan PHPU Perbaikan yang didaftarkan pada tanggal 10 Juni 2019, meskipun substansinya memenuhi standar Permohonan PHPU yaitu "Keberatan terhadap selisih Penghitungan Suara yang ditetapkan oleh KPU adalah salah" dan "Penghitungan yang benar adalah Penghitungan menurut Pemohon", namun karena Perbaikan PHPU dimaksud diajukan dalam format sebagai Permohonan PHPU yang baru, tanpa menampilkan catatan tentang butir mana yang mengalami Perbaikan redaksional atau kesalahan pengetikan kata/kalimat, maka perbaikan dengan mengubah secara total Posita maupun Petitumnya, jelas menyalahi aturan. “Hal ini berimplikasi hukum didiskualifikasi Permohonan PHPU kedua-duanya oleh MK,” katanya.
Petrus menilai sikap Kepaniteraan MK yang menerima Permohonan PHPU Perbaikan dari Paslon Nomor Urut 02 dan menyatakan hanya dijadikan sebagai "lampiran" dalam Permohonan PHPU tanggal 24 Mei 2019, hal itu merupakan sinyal kuat bahwa MK melihat Paslon Nomor Urut 02 tidak sungguh-sungguh mempersiapkan diri untuk menempuh upaya hukum ke MK. Sebab, sejak awal konsepnya adalah menggunakan kekuatan people power guna mendapatkan kekuasaan dengan mengabaikan mekanisme konstitusional ke MK.
“Ketidak seriusan itu pulalah mengakibatkan Permohonan PHPU yang dibuatpun amburadul dan formalistis. Oleh karena iut, sangat beralasan untuk didiskualifikasi pada sidang tanggal 14 Juni 2019 nanti,” katanya.(fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 12 Ribu Personel TNI-Polri Disiagakan saat Sidang di MK
Redaktur & Reporter : Friederich