JAKARTA - Sehari setelah rekapitulasi suara pemilihan gubernur (pilgub) DKI Jakarta oleh KPUD Jakarta, kemarin giliran Mahkamah Konstitusi (MK) yang menggelar sidang. Itu terkait dengan gugatan tiga warga Ibu Kota yang enggan putaran dua dilaksanakan. MK sempat curiga gugatan itu berdasar salah satu pasangan calon gubernur.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Hamdan Zoelva itu langsung mencerca pemohon atas kapasitas atau legal standingnya. Menurut hakim anggota Harjono, yang lebih tepat gugatan adalah salah satu pasangan calon gubernur. Sebab, merekalah yang dirugikan kalau sampai putaran dua jadi berlangsung.
"Kalau pilgub hanya berjalan satu putaran, mereka (Jokowi-Ahok, red) bisa terpilih jadi gubernur," ujarnya. Kalau gugatan itu dilakukan oleh warga biasa, dia menyebut alasan pemohon masih kabur. Malah, dia menyebut alasan warga tidak rasional karena seperti layaknya pasangan calon.
Dia lantas menyinggung Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 yang dijadikan dasar alasan pemohon. Pasal itu menyebutkan kalau setiap warga berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil. Harjono menilai, berlakunya Pasal 11 ayat 2 UU Pemprov DKI tidak melanggar hak warga.
Harjono juga mengatakan kalau pihaknya bakal membuktikan apakah persamaan kedudukan hukum pemohon di depan hukum lenyap. Pernyataan itu keluar karena warga menyebut ketentuan 50 persen lebih sebagai pemenang pilgub adalah pelanggaran konstitusional Pasal 27 ayat 1 UUD 1945. "Akan kita buktikan nanti," imbuhnya.
Seperti yang diberitakan, pilgub Jakarta selesai dengan beberapa catatan. Salah satunya, prosentase angka golongan putih (golput) yang sangat tinggi karena mencapai 2.555.207 suara. Disamping itu, KPUD juga memastikan bakal ada putara kedua pada September nanti. Sebab, tidak ada satupun calon yang memiliki 50 persen suara.
Tidak hanya itu, sentilan berikutnya keluar saat pemohon menjadikan quick count bukan rekapitulasi sebagai dasar gugatan. Jelas, menurut MK hal itu tidak tepat karena sebab musabab berjalannya putaran dua bukan karena hitung cepat. "Kenapa quick count yang jadi dasar legal standing, apa saudara terkait dengan pasangan Jokowi-Ahok?," katanya.
Banyaknya catatan karena hakim menilai yang disinggung pemohon bukan norma, tetapi berkutat pada perolehan suara saja. Oleh sebab itu, Hamdan Zoelva mengatakan kalau pemohon harus memperkuat dalil-dalilnya kalau gugatannya ingin dikabulkan. Terutama, norma yang diuji harus benar bertentangan dengan konstitusi.
Dia lantas meminta agar pemohon untuk menyusun ulang legal standingnya. Dikatakan juga, kalau hal itu tidak melebar sampai panjang hingga 35 poin. Bagi Hamdan, simpel dengan menyampaikan kalau pemohon sudah dirugikan hak konstitusionalnya adalah cukup. "Tinggal mengurai hak konstitusional apa dan dimana pertentangan normanya," jelasnya.
Usulan perbaikan lainnya adalah, dimasukkannya perbedaan aturan proses pemilihan kepala daerah di Jakarta dan tempat lain. Menurutnya itu penting untuk memperkuat alasan kenapa perbedaan tersebut tidak konstitusional. Dia berharap agar perbaikan-perbaikan tersebut bisa dilakukan supaya semuanya jadi lebih jelas dan rasional.
Sementara itu, kuasa hukum warga, Samuel Hendrik Pangimanan mengatakan kalau pihak akan segera melakukan perbaikan. Dari waktu 14 hari yang disediakan, rencananya bakal dipakai separo saja. "Kami akan bergerak cepat, rencananya, Rabu minggu depan bakal kami masukkan lagi ke MK," katanya.
Dia memastikan hal itu karena menganggap MK memiliki atensi khusus terhadap materi gugatan yang diajukan. Buktinya, baru satu minggu dari penyerahan institusi pimpinan Mahfud M.D itu langsung menggelar sidang. Disamping itu, cepatnya persidangan juga diharap bisa memenuhi tuntutannya kalau putara dua sebenarnya tak perlu digelar.
Terpisah, M. Sholeh menegaskan kalau pihaknya tidak memiliki kaitan apapun dengan Jokowi. Meski masa lalunya dekat dengan PDI-P, pria yang pernah mencalonkan diri sebagai calon Wali Kota Surabaya itu mengaku sekarang bukan simpatisan partai lagi. (dim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sah, Pilkada DKI Dua Putaran
Redaktur : Tim Redaksi