MK Kembalikan Eksistensi Hak Adat

Jumat, 17 Mei 2013 – 07:56 WIB
JAKARTA--Pemerintah khususnya Kementerian Kehutanan harus segera melakukan pemetaan ulang untuk memisahkan antara lahan atau hutan negara dengan hutan adat. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan sebagian dari permohonan Pengujian Undang Undang (PUU) nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sehingga mengembalikan eksistensi dan hak hutan adat.

Dalam sidang putusan perkara nomor 35/PUU-X/2012 yang dipimpin hakim ketua, Akil Mochtar, didampingi hakim konstitusi lainnya mengadili, menyatakan mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian, di gedung MK, kemarin. Permohonan itu sendiri diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu.

Pemohon fokus pada pengujian pasal 1 angka 6, pasal 4 ayat 3, pasal 5 ayat 1, 2, 3, dan 4, serta pasal 67 ayat 1, 2, dan 3, UU 41 tahun 1999 tersebut. Dalam putusannya Akil membacakan bahwa kata "negara" dalam pasal 1 angka 6 bertentangan dengan UUD 1945.

Kata "negara" dalam pasal 1 angka 6 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga pasal 1 angka 6 dimaksud menjadi "Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat."

Pasal 4 ayat 3 bertentangan dengan Undang Undang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai "penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang undang," ungkap Akil, dalam persidangan.

Pasal itu juga diputuskan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "penguasaan hutan oleh negara tetap memerhatikan hak masyrakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang Undang."

Soal eksistensi adanya hutan adat ditegaskan dalam pasal 5 ayat 1 sesuai putusan MK bahwa pasal ini tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai " Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a, tidak termasuk hutan adat.

Putusan MK juga memperbaiki pasal 5 ayat 3 UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan itu sehingga redaksionalnya menjadi "Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1; dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.

Sekjen AMAN, Abdon Nababan, selaku pemohon menyambut gembira putusan ini. "Putusan ini saya pikir sangat penting buat masyarakat adat seluruh Indonesia. Ini putusan paling tidak bisa memulihkan rasa kebangsaan yang selama ini sebelumnya sudah hampir putus," kata pria asal Toba, Sumatera Utara, itu.

Putusan MK ini, diharapkan Abdon, akan mendorong proses rekonsiliasi sesungguhnya antara pemerintah dengan masyarakat adat. "Keyakinan saya, dari total 130 juta hektar hutan negara itu 40 juta hektar di antaranya adalah hutan adat. Dan kita tahu sekarang sebagian besar wilayah adat itu masuk oleh UU 41 tahun 1999 jadi hutan negara. Banyak di antaranya oleh pemerintah dikasih izin segala macam, izin HPH (Hak Pengusahaan Hutan), izin HTI (Hutan Tanaman Industri), Pertambangan, dan sebagainya," ungkapnya.

Atas dasar UU nomor 41 itu pula sering terjadi bentrok antara masyarakat adat dengan pemerintah atau perusahaan dan sudah memakan korban ribuan orang masyarakat adat masuk tahanan. "Karena itu memang ini saat yang tepat bagi pemerintah atau Menteri Kehutanan untuk minta maaf ke masyarakat adat atas banyaknya penderitaan yang lahir dari UU 41 tahun 1999," terusnya.

Artinya, kata Abdon, selama sekitar 14 tahun ini sejak UU tersebut lahir masyarakat adat hidup di luar konstitusi.  Efek lain dari lahirnya putusan MK ini adalah menciptakan pekerjaan besar baik untuk pemerintah maupun masyarakat adat. Terutama untuk membahas bersama wilayah mana saja yang masuk lahan adat. "Selama ini kan memang sengaja dikaburkan. Dan meamng tidak ada satu pun datanya di Kemenhut yang mana hutan adat itu," tegasnya.

Kembalinya lahan adat ke masyarakat adat juga bukan berarti pemerintah menjadi lepas tangan. Tugas pemerintah harus tetap memastikan fungsi ekologisnya tetap terjamin dan masyarakat adat bukan berarti karena menguasai hutan adat maka lepas dari jerat hukum. "Tetap ada hukum dari pemerintah bagi (masyarakat adat) yang merusak," imbuhnya.(gen)

BACA ARTIKEL LAINNYA... 40 Tahun RI-Korsel, Perlu Optimalkan Kerjasama Bilateral

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler