MK Ditengarai Menghapus Parliamentary Threshold, Sultan: Sistem Pilpres Langsung Juga Perlu Ditinjau Kembali

Jumat, 01 Maret 2024 – 10:01 WIB
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Sultan B Najamudin. Foto: Humas DPD RI

jpnn.com, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) ditengarai sudah memutuskan untuk menghapuskan ketentuan ambang batas parlemen atau Parliamentary Threshold 4 persen suara sah nasional dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diuji oleh organisasi masyarakat sipil Perludem.

MK menilai aturan ambang batas parlemen tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi.

BACA JUGA: Bertemu Sri Sultan HB X, Hadi Tjahjanto: Saya Mohon Doa Restu

Meski demikian dalam amar putusannya, MK menyatakan ketentuan Pasal 414 Ayat (1) dalam UU Nomor 7 Tahun 2017, konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk Pemilu DPR 2024.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Sultan B Najamudin menyambut baik keputusan MK tersebut.

BACA JUGA: Sri Sultan Hamengku Buwono X Beri Pesan kepada Nasabah PNM Mekaar di Bantul

Menurut Sultan, kedaulatan rakyat yang diberikan melalui partai politik untuk menjadi bagian dari anggota Majelis permusyawaratan/perwakilan rakyat tidak boleh dinihilkan oleh kepentingan politik tertentu.

“Jika melihat pengalaman penyelenggaraan pemilu yang selalu meninggalkan bekas luka sosial dan politik selama ini maka sudah saatnya sebagai bangsa kita perlu meninjau kembali sistem pemilu langsung yang mensyaratkan parliamentary threshold dan presidential threshold,” ujar Sultan, Jumat (1/3/2024).

BACA JUGA: Survei PPP di Atas Parliamentary Threshold, Mardiono: Kami Tingkatkan Kinerja Politik

“Sudah lama kami mempersoalkan aturan yang terkait dengan batasan-batasan politik dalam pemilu harus dinihilkan demi masa depan demokrasi Indonesia yang berasaskan nilai-nilai Pancasila ini,” ujar Sultan yang juga eks Gubernur Bengkulu itu.

Menurut Sultan, sistem Pemilu langsung secara serentak yang diatur dengan ketentuan Parliamentary Threshold juga presidential Threshold tidak lagi sesuai dengan semangat kebangsaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah mufakat.

Selalu ada tudingan kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif pada setiap pemilu langsung.

"Dan, terjadi lagi pada Pemilu kali ini, di mana prosesnya kemudian terus dipersoalkan oleh masyarakat sipil dan kelompok politik tertentu, hingga muncul upaya politik penggunaan hak angket DPR. Sebab, demokrasi dengan pendekatan pemilu langsung sangat rentan secara sosial dan tentunya high cost politik,” tegas mantan aktivis KNPI itu.

Pemilu langsung, sambungnya, adalah wujud demokrasi liberal yang sangat complecated dan lebih banyak menimbulkan mudarat daripada manfaat bagi kehidupan sosial politik bangsa.

Praktik Money politic dalam jumlah besar sangat liar justru mendestruksi nilai-nilai demokrasi itu sendiri.

"Sementara Pemilu tak langsung melalui lembaga MPR RI sangat relevan dengan prinsip perwakilan dalam sila ke empat Pancasila. Dan, yang harus dipahami adalah bahwa sistem pemilihan presiden melalui parlemen tidak identik dengan otoritarianisme seperti orde baru,” ujar Sultan.

Dengan demikian, kata Sultan, Sistem presidensial dan pemilu langsung yang dipraktekkan selama ini cukup dijadikan pelajaran kebangsaan yang berharga. Bahwa Sistem politik yang rumit, mahal dan cenderung liberal ini sudah saatnya diakhiri.

Sultan mengatakan DPD RI secara kelembagaan menilai bahwa pembaharuan pada sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia merupakan jalan keluar bagi persoalan politik demokrasi liberal saat ini.

“Tanpa perbaikan pada sistem politik, maka Indonesia akan selalu terjebak dalam lingkaran setan pemilu langsung yang merugikan demokrasi Indonesia,” ujar Sultan.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam situs resminya pada Kamis (29/2) menilai ketentuan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold sebesar 4 % (empat persen) suara sah nasional yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi.

Untuk itu, ambang batas parlemen tersebut konstitusional sepanjang tetap berlaku dalam Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya.

Demikian tercantum dalam Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023. Putusan dari perkara yang diajukan oleh Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) tersebut dibacakan dalam Sidang Pengucapan Putusan yang digelar pada Kamis (29/2/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.

“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan norma Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum  adalah konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan terhadap norma ambang batas parlemen serta besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dengan berpedoman pada persyaratan yang telah ditentukan,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan Amar Putusan.

Sebelumnya, Perludem mempersoalkan norma Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu sepanjang frasa “paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional”.

Selengkapnya, Pasal 414 Ayat (1) UU Pemilu menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR”.

Pemohon menyebut hubungan ambang batas parlemen dengan sistem pemilu proporsional. Pemohon berargumen, ambang batas parlemen ini adalah salah satu variabel penting dari sistem pemilu yang akan berdampak langsung kepada proses konversi suara menjadi kursi.

Menurut Perludem, ketentuan ambang batas parlemen ini tidak boleh tidak dikaitkan dengan ketentuan di dalam Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu yang mengatur bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR baik provinsi maupun kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.

Perludem mengaitkan ketentuan ambang batas parlemen ini dengan tidak konsistennya atau menimbulkan ketidakpastian antara ketentuan ambang batas parlemen yang 4% dan berakibat tidak terwujudnya sistem pemilu yang proporsional karena hasil pemilunya tidak proporsional.

Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra, Mahkamah tidak menemukan dasar metode dan argumen yang memadai dalam menentukan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dimaksud, termasuk metode dan argumen yang digunakan dalam menentukan paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional sebagaimana ditentukan dalam Pasal 414 Ayat (1) UU Pemilu.

Bahkan, merujuk keterangan pembentuk undang-undang, yaitu Presiden dan DPR terhadap permohonan a quo, Mahkamah tidak menemukan dasar rasionalitas dalam penetapan besaran angka atau persentase paling sedikit 4% (empat persen) dimaksud dilakukan dengan metode dan argumen penghitungan atau rasionalitas yang jelas.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler