JAKARTA–Memperoleh suara lebih dari 30 persen tak membuat Jokowi otomatis menang. Untuk menduduki kursi DKI-1, Walikota Solo itu harus mengikuti pemilukada putaran kedua terlebih dulu. Ketua MK Mahfud MD menegaskan, Pilkada dua putaran sudah sesuai aturan.
’’Menurut undang-undang untuk DKI Jakarta harus dua putaran kalau belum ada menang lebih dari 50 persen,’’ ujar Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD saat menghadiri Sarasehan Budaya di Hotel Sahid Jakarta.
Karena itu, lanjut Mahfud, apa yang dilakukan KPUD DKI Jakarta sudah tepat. Tapi, pihaknya mempersilakan jika ada warga negara yang melakukan judicial review terhadap UU tersebut. ’’Kami tetap akan memeriksa semua permintaan judicial review dan terbuka untuk umum,’’ tandasnya.
Sebelumnya, tiga orang warga, yaitu Mohamad Huda, A Havid Permana dan Satrio F Damardjati, mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun 2007 ke MK. Mereka beralasan, UU tersebut bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pilkada. Sebab, dalam UU Nomor 12 itu disebutkan bahwa penetapan dua putaran hanya dilakukan jika tidak ada calon yang memperoleh 30 persen plus satu.
Pemohon berlandaskan pada pasal 107 UU Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah yang menyatakan jika pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah memperoleh 30 persen dari jumlah suara sah maka berhak dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.
Tidak Berlaku Surut
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan, apapun Putusan MK terkait judicial review terhadap UU tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu baru dilaksanakan pada pilkada berikutnya. Sebab, proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta telah dimulai.
’’Karena tahapan (Pilkada) sudah mulai dan proses juga sudah berjalan, jadi kalaupun MK mengabulkan permohonan pengujian UU 3 warga itu, pemberlakuan putusannya tidak untuk pilkada sekarang. Istilahnya tidak bisa berlaku surut,’’ kata Titi.
Ia juga mengatakan, penyelenggaraan pilkada DKI Jakarta menggunakan aturan khusus yakni UU No 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, bukan UU No 12 tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah yang saat ini digugat para pemohon. ’’Dalam konteks ini, berlaku ketentuan lex specialist derogat lex generalis, yakni aturan bersifat khusus mengesampingkan aturan bersifat umum,’’ paparnya.
Demikian pula Peraturan KPU No 16 tahun 2010 yang mengatur pemenang adalah paslon (pasangan calon) yang memperoleh suara 30%+1. Ketentuan tersebut menjadi tidak berlaku khusus di DKI Jakarta, karena ada pengaturan yang berbeda dalam UU 29 Tahun 2007. Sehingga, karena UU adalah aturan lebih tinggi, maka otomatis dia mengesampingkan Peraturan KPU.
’’Sesuai adagium lex superior derogat legi inferiori atau peraturan lebih tinggi mengesampingkan peraturan lebih rendah, maka aturan yang berlaku untuk menentukan pemenang pilkada DKI harus berdasarkan UU 29/2007 yakni calon harus memenuhi perolehan suara minimal 50%+1,’’ bebernya. (ris)
BACA ARTIKEL LAINNYA... AMPI Ribut Gara-gara Bibir Sumbing
Redaktur : Tim Redaksi