jpnn.com, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) dianggap tidak bisa bersembunyi di balik makna pasal 158 Undang-undang Nomor 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, dalam menangani perkara perselisihan hasil pilkada serentak 2017 yang digelar di 101 daerah.
Karena, pasal tersebut membatasi gugatan sengketa hasil pilkada hanya bisa diajukan, jika selisih suara penggugat dengan peraih suara terbanyak, maksimal dua persen. Sementara di Pasal 22 E UUD 1945, posisi MK diatur sebagai penjaga demokrasi.
BACA JUGA: Verifikasi Partai Masih Menunggu Pengesahan UU
"Jadi MK sebagai penjaga hak konstitusional warga negara, perlu memertimbangkan penggunaan kewenangan MK sebagai penafsir undang-undang, terhadap kesesusaianya dengan konstitusi negara, " ujar Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia Kaka Suminta di Jakarta, Senin (13/3).
Kaka menyatakan pendapatnya ini karena beberapa isu penting seperti adanya dugaan kejahatan pilkada dengan memanfaatkan data pemilih, dugaan penyalahgunaan kekuasaan dan fasilitas negara dan yang paling banyak dikeluhkan masyarakat soal politik uang, tidak bisa direduksi dengan mengatasnamakan Pasal 158 UU Nomor 10/2016.
BACA JUGA: DPD Kecewa dengan Cara Penanganan Pelanggaran Pilkada
"Jangan sampai publik menilai pada sidang perselisihan hasil pilkada, MK hanya berfungsi sebagai mahkamah penghitungan matematis hasil Pilkada. Karena itu akan melahirkan preseden buruk dalam pembangunan institusionalisasi di Indonesia," ucap Kaka.
KIPP Indonesia kata Kaka, memandang inilah saatnya MK mengambil peran sejarah, untuk meluruskan dan mendorong demokratisasi dan penguatan hak konstitusional warga negara, melalui keputusan MK dalam PHP-Kada Serentak 2017. (gir/jpnn)
BACA JUGA: Pemprov DKI Ingin Bangun Masjid Raya di Jaksel-Jaktim
BACA ARTIKEL LAINNYA... Angka Anak Putus Sekolah Tinggi, KJP Plus Jawabannya
Redaktur & Reporter : Ken Girsang