MK Tak Boleh Ragu Batalkan Jabatan Wamen

Jumat, 16 Maret 2012 – 02:40 WIB

JAKARTA - Sekretaris Pendiri Indonesia Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus terus mendesak Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan jabatan wakil menteri (Wamen). Menurutnya, selain hanya mengacaukan struktur pemerintahan karena bertentangan dengan konstitusi, jabatan Wamen juga menguras Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN).

"MK tidak perlu lagi ragu untuk memutus secara adil dari sisi konstitusi terkait keberadaan Wamen. Selain menyedot APBN yang mencapai kisaran 1,2 Triliun pertahun dihabiskan oleh 20 orang Wamen, posisi Wamen juga menimbulkan distorsi yang luar biasa terhadap Kementerian dan menimbulkan kekacauan birokrasi," kata Iskandar dalam rilisnya yang diterima JPNN, Kamis (15/3).

Kekacauan birokrasi yang dimaksud Iskandar adalah menunjuk pada dua persoalan di Kementrian Hukum dan Ham serta Kementrian BUMN. Kata dia, Surat Keputusan (SK) Menkum HAM tertanggal 16 November 2011 bernomor Nomor M.HH-07.PK.01.05.04 Tahun 2011 tentang Pengetatan Remisi Terhadap Narapidana Tindak Pidana Luar Biasa Korupsi dan Teroris yang lahir atas kesepakatan Menteri Hukum dan Ham, Amir Syamsuddin dengan Wamenkumham, Denny Indrayana.

"Ternyata setelah digugat di Pengadilan maka Majelis Hakim menyatakan bahwa SK tersebut ternyata tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Ini pun berakibat dengan sikap DPR yang menyiapkan hak interpelasi," katanya.

Demikian halnya Surat Keputusan Menteri BUMN surat nomor 236 tentang Pendelegasian Sebagian Kewenangan Menteri BUMN Kepada Pejabat Eselon I di Lingkungan Kementerian BUMN, Dewan Komisaris/Dewan Pengawas dan Direksi BUMN juga ternyata bermasalah. Kata dia, surat keputusan ini dipersoalkan di Komisi VI DPR. "Aneh, SK yang baru saja diputuskan akan direvisi kembali," ucapnya.

Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Fahmi Idris yang pernah dicalonkan menjabat Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) juga mengkritik penerapan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang tidak konsisten. Menurutnya, Tahun 2009 untuk menjadi Wakil Menteri harus sudah pernah menjabat Eselon IA.

Hal itulah yang menyebabkan dirinya tidak terpilih sebagai Wamen karena belum pernah menjabat eselon IA. "Saat saya diminta RI-1 dan diumumkan jubirnya ke publik menjadi Wamenkes bukanlah karena saya mencari jabatan tersebut. setelah di fit and proper langsung oleh RI 1 dan disuruh siap-siap untuk pelantikan oleh RI 1 sendiri, mendadak besoknya dikabari ditunda. Setelah itu tidak ada lagi penjelasan resmi apakah dibatalkan atau tidak. Dalam pemikiran positif saya, ya memang ditunda karena tidak memenuhi syarat pernah eselon 1A," ucapnya.

Tapi pada Tahun 2011 kata Fahmi, syarat itu tidak dijadikan lagi dasar untuk mengangkat Wamen sehingga memunculkan pertanyaan karena adanya perbedaan perlakuan. "Masyarakat dan kemudian kolega dokter melihat ada perbedaan perlakuan yang membuat mereka bertanya-tanya.  Di tahun 2009 untuk menjadi Wakil Menteri harus sudah pernah menjabat Eselon IA, mengapa di tahun 2011 mendadak peraturannya berubah. Sangat manusiawi kalau kemudian saya sempat merasa kecewa," pungkasnya. (awa/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kejagung Urung Sita Tanah Dhana


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler