jpnn.com, JAKARTA - Peneliti utama bidang politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mochtar Pabottingi memberi dukungan kepada Jokowi dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dalam Pemilu 2019. Dukungan itu dia sampaikan dalam video yang beredar luas di dunia maya.
Menurut doktor ilmu politik University of Hawaii, Amerika Serikat itu, Jokowi banyak menorehkan prestasi dalam pembangunan, terutama fokus membangun wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar yang diabaikan rezim-rezim sebelumnya.
BACA JUGA: Ferdinand Demokrat: Jokowi Bersihnya di Mana?
“Dari kelima presiden pasca Reformasi, Presiden Jokowi yang terbanyak menghasilkan prestasi nyata dalam pembangunan, dan perbaikan perikehidupan ekonomi, sosial rakyat, hingga ke wilayah-wilayah pinggiran Tanah Air yang praktis selalu diabaikan atau tak sempat diurus selama masa-masa Reformasi sebelumnya,” kata dia dalam video berdurasi 05:27 menit itu.
BACA JUGA: Makin Dekat Pencoblosan, Elektabilitas PSI Terus Bergerak Naik
BACA JUGA: Lihat Video Jokowi Mandi Hujan, Basah Kuyup Tetapi Tak Kuncup
Lebih jauh, lanjt Mochtar, dari tokoh-tokoh yang pernah menjadi presiden Indonesia, hanya Jokowi yang layak disandingkan dengan ketokohan Presiden Soekarno dalam hal transparansi dan melawan korupsi.
Tak hanya itu, kesahajaan hidup dalam pribadi Jokowi dan keluarganya, dan yang selalu mengutamakan kerja keras bagi sesama patut dijadikan teladan.
BACA JUGA: Bamsoet: Dukungan Kiai dan Santri Jateng Bukti Jokowi Tidak Anti-Islam
“Dan bisa dipastikan Presiden Jokowi yang telah mengukuhkan teladan hidup yang tak hanya bersahaja, melainkan juga sarat kerja dan prestasi,” pujinya dalam video itu.
Selanjutnya, Mochtar Pabottingi mengingatkan kondisi bangsa Indonesia hari ini yang masih di bawah bayang-bayang kebangkitan Orde Baru. Dia bahkan menyebut dengan tegas rezim Orde Baru sebagai pembawa malapetaka politik Indonesia.
“Bahaya terbesar yang terus membayangi dan bisa kembali menimpa bangsa kita adalah kembalinya sistem pemerintahan Orde Baru. Dari keempat rezim yang sudah berkiprah di Tanah Air, Orde Baru tersimpul sebagai pembawa malapetaka, maha bencana atas bangsa serta segenap sendi-sendi kenegaraan kita,” kata dia.
Dalam penuturannya, cara mengelola negara ala rezim Orde Baru sangat berbahaya bila diterapkan di Indonesia. Hal itu dikarenakan logika politik dan doktrin keamanan di balik rezim Orba sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai demokrasi Indonesia pasca kemerdekaan.
“Orde Baru ditandai dengan pemerintahan monopolistik, militeristik yang nihil akuntabilitas dan prinsip checks and balances, yang sarat diskriminasi dan kesewenang-wenangan tak bertara di sepanjang sejarah kemerdekaan kita,” tutur pria yang genap 74 tahun pada Juli nanti.
Tak hanya gagal merawat nilai demokrasi dengan melanggengkan kekuasaan monopolistik dan militeristik. Rezim Orde Baru, menurut Mochtar, juga mencederai sila kedua, ketiga, keempat dan kelima dalam Pancasila.
Menurut Mochtar, keempat sila tersebut diinjak-injak atau dicampakkan selama Orde Baru. "Dan semua itu dibiarkan dengan impunitas,” tutur dia.
Namun, setelah kejatuhan rezim Orde Baru dan ditandai dengan terbukanya gerbang Reformasi, kondisi politik Indonesia tak serta-merta terlepas dari pengaruh orang-orang Orde Baru yang mencoba memasuki kembali gelanggang politik. Mochtar Pabottingi pun memakai istilah tarik tambang antara barisan Reformasi dan barisan Orde Baru.
“Maka terjadi dan berlanjutlah kerusakan parah atas perikehidupan bangsa kita sungguh-sungguh secara multidimensi, yang terjadi adalah tarik tambang atau tug of war antara barisan Reformasi dengan barisan Orde Baru, hingga detik ini,” dia memaparkan pemikiran politiknya.
Kondisi politik di bawah pengaruh dan ancaman kebangkitan Orde Baru itu, bagi Mochtar Pabottingi, sedang dipraktikkan lewat pencapresan mantan Pangkostrad era Orba Prabowo Subianto. Dia khawatir, kemenangan Prabowo di Pilpres 2019 ini, bisa membangkitkan gaya politik Orde Baru.
“Berdasarkan fakta-fakta kondisi di sekitar capres Prabowo, saya melihat peluang dan potensi kembalinya sistem pemerintahan Orde Baru secara utuh. Jika capres Prabowo terpilih, tarik tambang antagonistik antarbarisan Reformasi dengan barisan bablasan Orde Baru akan selesai seketika. Digantikan oleh kebangkitan kembali sistem politik Orde Baru secara utuh,” kata Mochtar.
Terkait PSI, sikap profesor LIPI kelahiran Bulukumba, Sulawesi Selatan, berangkat dari kekagumannya terhadap PSI sebagai partai modern dan berharkat. Selain itu pula, ia menilai PSI berhasil menjadi wadah pergerakan politik kaum muda berintegritas dan cerdas.
“Dalam usia mudanya itu, PSI telah menampilkan visi kepartaian modern dan berharkat. Ia (PSI) juga berhasil menampilkan tokoh-tokoh muda berintegritas dan berwawasan cerdas,” ujar dia.
Mochtar juga menegaskan bahwa masa depan Indonesia layak dipercayakan layak dipercayakan kepada partai-partai dengan prinsip-prinsip seutama PSI. Menurutnya, gairah politik PSI yang setia menjaga demokrasi dan merawat keberagaman tanpa diskriminasi terlihat jelas dalam dua tahun belakangan.
“Hanya di pundak partai-partai demikian, masa depan Indonesia bisa dipercayakan,” terangnya.
“Silakan simak kebangkitan mereka dalam tempo dua tahun terakhir. Kita merindukan partai-partai politik bermartabat, nirkorupsi dan tidak setengah-setengah dalam mengusung demokrasi dan keberagaman tanpa diskriminasi,” lanjut ia.
Lantas, ia pun meminta publik juga mendukung PSI dengan memilih kader-kader PSI di Pileg 2019 mendatang. Baginya, PSI tidak hanya urusan politik semata, tapi bagian dari kebajikan publik.
“Berilah mereka (PSI) kesempatan, luangkan jalan bagi kaum milenial sebagai eksponen kebajikan publik,” pungkas Mochtar Pabottingi.
Ketua Umum PSI, Grace Natalie, menyambut gembira dukungan Mochtar untuk partainya dan Jokowi. “Dukungan dari sosok senior berintegritas seperti Prof Mochtar sungguh membesarkan hati. Dalam perjuangan PSI yang tak ringan ini, dukungan beliau kian meningkatkan motivasi kami untuk memperbaiki Indonesia,” kata Grace. (dil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Makin Dekat Pencoblosan, Elektabilitas PSI Terus Bergerak Naik
Redaktur & Reporter : Adil