jpnn.com, JAKARTA - Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara) mengapresiasi Presiden Prabowo Subianto yang mengimbau ke perusahaan pengantaran berbasis digital untuk memberikan bonus hari raya (BHR) kepada pengemudi ojek online (ojol) dan kurir.
Namun, Modantara menilai kebijakan yang dituangkan dalam Surat Edaran (SE) Kemnaker terkait BHR justru tidak selaras dengan arahan Presiden dan berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi industri.
BACA JUGA: BHR Outlook 2025, SETARA Institute Identifikasi 10 Isu Prioritas Bisnis & HAM di Indonesia
Salah satu poin yang dikritik Modantara adalah kewajiban memberikan BHR kepada pengemudi ojol, tanpa mempertimbangkan tingkat aktivitas mereka.
Menurut dia, hal itu tidak adil bagi mitra yang lebih aktif dan bekerja keras.
BACA JUGA: Tanggapi Isu Bhre-Astrid, Golkar dan PKS Tetap Usung Sekar Tandung di Pilkada Solo 2024
"Apakah adil jika mitra yang baru mendaftar kemarin atau baru menyelesaikan satu hingga dua pesanan mendapatkan BHR? Apakah adil bagi rekannya yang sudah bekerja lebih lama dan lebih produktif? Padahal sangatlah umum di sektor manapun bonus diberikan berdasarkan kinerja dan pencapaian target," kata Agung Yudha, Direktur Eksekutif Modantara dalam siaran persnya, Selasa (18/3).
Dia menjelaskan perhitungan BHR ojol sebesar 20% dari pendapatan rata-rata bulanan selama 12 bulan terakhir bagi mitra produktif disebut sangat mmemberatkan sebagian besar platform.
BACA JUGA: Soal Ojol Dapat THR, Menteri Meutya Hafid: Mudah-mudahan
"Terutama tanpa kejelasan definisi apa yang dimaksud 'pendapatan bersih', ketentuan ini justru bisa menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian dalam implementasinya. Seharusnya, pemerintah tidak perlu mendikte besaran persentase, melainkan cukup menyerahkan kepada perusahaan," tutur Agung.
Dia menegaskan surat edaran maupun imbauan tersebut bukanlah regulasi yang mengikat secara hukum.
Pemberian BHR tidak dapat dipaksakan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan usaha.
Angung mengatakan pemerintah seharusnya tidak dapat memaksa perusahaan swasta yang merugi untuk memberikan bonus.
Sebab, kata dia, jika perusahaan tersebut pailit nantinya pemerintah pun tidak dapat memberikan suntikan bantuan.
"Jika pun memberi bonus, itu sudah merupakan suatu itikad baik yang perlu diapresiasi berapapun angkanya," ujarnya.
Dia menilai kebijakan hanya didasarkan untuk memuaskan seruan dari pihak-pihak yang tidak berada di dalam ekosistem. Jika dipaksakan tentu berakibat fatal.
"Jika tetap dipaksakan, maka skenario terburuknya akan fatal. Sudah banyak contoh di negara lain. Di Swiss, jumlah pengemudi Uber Eats turun 67 persen setelah putusan pengadilan. Di Spanyol, Glovo hanya mempertahankan 17 persen mitranya, Uber memberhentikan 4.000 mitra, dan Deliveroo keluar dari pasar," kata Agung.
Agung menghargai setiap upaya untuk mendukung mitra. Namun, kebijakan juga harus mempertimbangkan aspek keberlanjutan industri dan fleksibilitas yang menjadi dasar ekosistem ini.
"Memaksakan kebijakan yang tidak realistis justru berisiko menciptakan masalah lebih besar, termasuk meningkatnya angka pengangguran dan hilangnya peluang ekonomi bagi jutaan masyarakat yang mengandalkan platform digital sebagai sumber penghasilan alternatif,” ungkap Agung.
Ke depannya, pemerintah perlu menggandeng pihak-pihak yang memiliki relevansi dan kredibel dengan kebijakan yang akan diambil, serta benar-benar merupakan bagian dari ekosistem.
Dengan demikian, kebijakan yang diterapkan dapat diterima oleh semua pihak dan tidak menimbulkan polemik yang berpotensi merugikan ekosistem industri digital. (ddy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Prabowo Perintahkan Aplikator Beri Bonus Hari Raya untuk Ojol dan Kurir Online
Redaktur & Reporter : Dedi Sofian