JAKARTA - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menerima banyak laporan tentang kelemahan proses pelatihan guru kurikulum 2013. Baik di tingkat instruktur nasional, guru inti maupun guru sasaran.
Presidium FSGI, Guntur Ismail menyebutkan kelemahan itu salah satunya terkait model pelatihan yang diterapkan. Pelatihan guru yang dirancang partisipatif dan demokratis ternyata hanya berlangsung searah dan mengedepankan ceramah.
"Ini akan berdampak pada kegagalan mengubah paradigma atau mindset guru dalam praktek pembelajarannya nanti, sekaligus sumber kegagalan implementasi Kurikulum 2013," kata Guntur dalam konferensi pers di kantor LBH Jakarta, Kamis (11/7).
Guntur mengingatkan bahwa substansi perubahan dari Kurikulum 2006 (KTSP) ke Kurikulum 2013 ini adalah perubahan proses pembelajaran, dari pola pembelajaran ala guru menerangkan sementara murid mendengarkan, menjadi proses belajar yang mendorong murid melakukan pengamatan, bertanya, mengeksplorasi, mencoba, dan mengekspresikannya.
"Proses pembelajaran yang mendorong siswa untuk aktif tersebut hanya mungkin terwujud bila mindset guru telah berubah,” tegas Guntur.
Pada kesempatan yang sama Sekjen FSGI, Retno Listyarti mengatakan kegagalan mengubah mindset guru akan menjadi sumber kegagalan implementasi Kurikulum 2013. Persoalannya adalah perubahan mindset guru tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.
"Tidak bisa hanya dalam waktu lima hari, melainkan butuh waktu bertahun-tahun, padahal Kurikulum 2013 itu harus dilaksanakan dalam waktu secepatnya. Perubahan mindset harus dilakukan terus-menerus dengan cara mendorong guru untuk terus belajar,” ungkap Retno.
Bahkan dari dari tahapan pelatihan 1-3 menunjukkan bahwa kualitas guru inti rendah, hal ini sejalan dengan hasil post test guru inti yang hanya 63 poin. Bahkan untuk pelatihan terkait metode dan praktek ke peningkatan hasil post test hanya 5, 21 poin.
“Ini hasil yang sangat rendah kalau tak mau dibilang pelatihan guru inti gagal. Karena dalam implementasi kurkulum 2013 yang utama justru pada metode dan praktek kelas para guru, kalau pelatihnya saja berkualitas rendah dalam metode dan praktik, maka tak mungkin menghasilkan guru sasaran yang berkualitas tinggi dalam metode dan praktek kelas,” pungkas Retno.(fat/jpnn)
Presidium FSGI, Guntur Ismail menyebutkan kelemahan itu salah satunya terkait model pelatihan yang diterapkan. Pelatihan guru yang dirancang partisipatif dan demokratis ternyata hanya berlangsung searah dan mengedepankan ceramah.
"Ini akan berdampak pada kegagalan mengubah paradigma atau mindset guru dalam praktek pembelajarannya nanti, sekaligus sumber kegagalan implementasi Kurikulum 2013," kata Guntur dalam konferensi pers di kantor LBH Jakarta, Kamis (11/7).
Guntur mengingatkan bahwa substansi perubahan dari Kurikulum 2006 (KTSP) ke Kurikulum 2013 ini adalah perubahan proses pembelajaran, dari pola pembelajaran ala guru menerangkan sementara murid mendengarkan, menjadi proses belajar yang mendorong murid melakukan pengamatan, bertanya, mengeksplorasi, mencoba, dan mengekspresikannya.
"Proses pembelajaran yang mendorong siswa untuk aktif tersebut hanya mungkin terwujud bila mindset guru telah berubah,” tegas Guntur.
Pada kesempatan yang sama Sekjen FSGI, Retno Listyarti mengatakan kegagalan mengubah mindset guru akan menjadi sumber kegagalan implementasi Kurikulum 2013. Persoalannya adalah perubahan mindset guru tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.
"Tidak bisa hanya dalam waktu lima hari, melainkan butuh waktu bertahun-tahun, padahal Kurikulum 2013 itu harus dilaksanakan dalam waktu secepatnya. Perubahan mindset harus dilakukan terus-menerus dengan cara mendorong guru untuk terus belajar,” ungkap Retno.
Bahkan dari dari tahapan pelatihan 1-3 menunjukkan bahwa kualitas guru inti rendah, hal ini sejalan dengan hasil post test guru inti yang hanya 63 poin. Bahkan untuk pelatihan terkait metode dan praktek ke peningkatan hasil post test hanya 5, 21 poin.
“Ini hasil yang sangat rendah kalau tak mau dibilang pelatihan guru inti gagal. Karena dalam implementasi kurkulum 2013 yang utama justru pada metode dan praktek kelas para guru, kalau pelatihnya saja berkualitas rendah dalam metode dan praktik, maka tak mungkin menghasilkan guru sasaran yang berkualitas tinggi dalam metode dan praktek kelas,” pungkas Retno.(fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pihak Sekolan Diminta tak Jual Buku ke Siswa
Redaktur : Tim Redaksi