International Women's Day

Mogok Kerja hingga Demonstrasi Menolak Dipanggil Sayang

Jumat, 09 Maret 2018 – 09:17 WIB
Ilustrasi. Foto: The Sun

jpnn.com - Kemarin, Kamis (8/3), dunia memperingati International Women’s Day. Pada hari itu, kaum hawa di berbagai penjuru bumi mengekspresikan keresahan mereka dengan cara masing-masing.

Di Spanyol, peringatan tersebut ditandai dengan tidak beroperasinya kereta api. Sebab, para pekerja perempuan di Negeri Matador itu kompak mogok kerja.

BACA JUGA: KPPG Bentuk Dua Lembaga di Hari Perempuan Internasional

’’Jika kita tidak bekerja, dunia pun akan berhenti.’’ Demikian tulisan yang diusung para pengunjuk rasa.

Benua Eropa ternyata juga masih menganggap perempuan sebagai masyarakat kelas dua. Tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga politik dan bahkan domestik.

BACA JUGA: Waduh, 100 Gerai McDonalds di Amerika Terbalik Logonya

Keterwakilan perempuan dalam dunia politik di Uni Eropa (UE) hanya berkisar 29 persen. Hingga sekarang, hanya ada sepuluh kepala pemerintahan perempuan di UE.

Dalam Komisi Eropa pun, hanya ada delapan komisioner perempuan di antara total 27.

BACA JUGA: Ocehan Soal Jilbab Dikecam, Presiden Afghanistan Minta Maaf

Soal urusan rumah tangga, 92 persen perempuan berusia 25–49 tahun harus mengasuh anak-anak mereka. Untuk kelompok usia yang sama di seluruh UE, hanya 68 persen pria yang bertugas mengasuh anak.

Karena itu, tidak heran jika di UE pun 80 persen perempuan disibukkan urusan beres-beres rumah. Padahal, kaum prianya hanya 34 persen yang ikut sibuk mengurus rumah.

Memanfaatkan sorotan terhadap perempuan, para aktivis di Tiongkok mengkritik para pebisnis yang menyebut International Women’s Day sebagai Queens’ Day atau Goddesses’ Day. Hari untuk Ratu atau Hari untuk Sang Dewi.

Tampaknya, istilah itu memang mengandung pujian. Tetapi, inti sanjungan tersebut hanyalah ajakan pemborosan. Sebagian besar peritel di Tiongkok memberikan diskon besar untuk produk-produk yang identik dengan perempuan pada hari tersebut.

Di Mumbai, India, belasan model tampil dalam pergelaran busana khusus. Semua yang berlenggak lenggok di atas catwalk adalah penyintas serangan air keras.

Awalnya mereka ragu untuk ikut dalam pertunjukan itu. Mereka tidak siap memamerkan wajah cacat dalam riasan make-up. Namun, keraguan itu sirna setelah tahu bahwa mereka tidak sendiri.

’’Kita harus bangga menjadi perempuan. Tidak ada seorang pun yang bisa merenggut kebanggaan itu. Perempuan adalah lambang cinta dan perdamaian,’’ kata Laxi Agarwal, salah satu penyintas yang jadi model malam itu.

Sementara itu, di Ukraina, aksi protes terjadi di dunia maya. Melalui Facebook, para jurnalis perempuan menggelorakan protes terhadap para politikus yang suka seenaknya memanggil mereka dengan sebutan sayang.

Termasuk Presiden Petro Poroshenko. ’’Saya bukan sayangmu.’’ Demikian bunyi slogan yang dikutip Associated Press kemarin.

Sebelumnya, di Rusia, tiga jurnalis menggugat Leonid Slutsky yang sering melecehkan mereka. ’’Dia marah saat saya menolak tawarannya untuk meninggalkan BBC dan menjadi asistennya. Dia malah mengatakan bahwa saya sengaja menghindar karena tidak mau diciumnya,’’ ungkap Farida Rustamova sebagaimana dilansir The Guardian.

Selain Rustamova, ada dua jurnalis Rusia yang lebih dahulu mengkritik Slutsky. (hep/c4/dos)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ukuran Dada Tentukan Nasib Perempuan Yazidi


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler